Senin siang yang cerah. Saya masih mengajar  bahasa Indonesia di kelas 8 B dengan tema teks persuasi. Pada petemuan pertama saya sudah menjelaskan tentang pengertian, struktur, dan kaidah kebahasaan teks persuasi.
Pada pertemuan kedua ini fokus pada membaca teks persuasi dan menelaah beberapa contoh teks persuasi. Selanjutnya melatih peserta didik membuat paragraf teks persuasi dan membuat teks persuasi dengan lengkap.
Dua jam pelajaran sudah berlangsung sejak pukul 07.00-08.20 WIB. Pada jam ketiga yang berlangsung dari pukul 08.20 sampai 09.00 WIB saya memanggil satu persatu anak untuk maju ke depan, membaca teks persuasi buatannya kemudian menyerahkannya kepada saya untuk dinilai.
Satu persatu anak maju ke depan kelas sampai anak ke 34 dari 36 orang anak di kelas tersebut. Ada dua orang anak yang belum berani maju ke depan padahal waktu tersisa tinggal 6 menit dan saya harus berpindah mengajar di kelas 9D. Sepertinya kedua anak tersebut belum terbiasa unjuk diri.Â
Saya sedapat mungkin merayunya agar nilai praktik menulis dan membacanya tidak kosong. Saya pun jadi gemes dibuatnya. Saya motivasi dia, pelan-pelan Dendi bangkit dari tempat duduknya. Yogi menyusul berikutnya. Kedua anak ini sangat kesulitan membaca tulisannya sendiri.
"Ayo Dendi cepat dibaca?"
Dengan terbata-bata ia mengucapkannya. Teman-temannya di kelas sudah nggak sabar, geregetan. Untuk menjaga perasaannya saya meminta Dendi menyerahkan tulisannya, begitu juga dengan Yogi. Masya Allah, terkejut saya melihat tulisannya. Semua huruf yang ditulisnya hampir sama bentuk dan ukurannya. Akhirnya saya memintanya untuk bertemu setelah selesai belajar. Bel berbunyi tanda pergantian jam pelajaran. Saya menuju kelas 9 D di lantai 2.
Jam pelajaran terakhir pada hari Senin adalah pukul 13.30 WIB. Pada jam tersebut saya menunggunya di kelas. Sebentar kemudian Dendi dan Yogi datang.
"Dendi dan Yogi tadi kamu tampak kesulitan membaca tulisanmu sendiri, mengapa bisa begitu, Nak?"
Keduanya tertunduk malu dan hanya diam. Agak lama saya bisa mengorek keterangan langsung dari kedua anak tersebut. Selidik punya selidik ternyata ia belum bisa atau kesulitan membedakan huruf-huruf tertentu. Saya memberikan spidol kepadanya kemudian saya ucapkan huruf tertentu. Saya memintanya menuliskan huruf tersebut di papan tulis, ia tidak bisa menuliskannya.
Saya sampaikan temuan ini kepada orangtuanya. Mula-mula orangtuanya tidak percaya. Di lain waktu saya memintanya datang ke sekolah. Cara yang sama saya lakukan kepada kedua murid tersebut disaksikan oleh kedua orangtuanya. Orangtuanya akhirnya mengakui bahwa anaknya memang belum lancar membaca dan menulis. Kedua orang tua anak tersebut kemudian meminta maaf dan meminta tolong kepada saya cara mengatasinya. Dalam hati saya berkata, seandainya kedua orangtua anak tersebut mau terbuka dan berkata jujur sejak awal tentu tidak akan berlarut-larut menanganinya.
Sahabat guru yang baik, cara seperti apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut? Saya merasa tidak punya ilmu khusus untuk mengatasinya. Tetapi saya teringat dengan pelatihan yang puluhan tahun lalu pernah saya sampaikan kepada para guru bertempat di Gedung PKK Melati Jaya, Jakarta Selatan.
Saya cobakan metode tersebut kepada Dendi dan Yogi. Mula-mula keduanya malu dan enggan melakukannyaya. Saya motivasi dia. "Jangan malu, ingat masa depanmu." Saya mulai lagi, ia mulai menemukan ritmenya. Saya cobakan lagi. Ia tertawa kegelian.
Seingat saya sekitar 7-9 kali saya praktikkan metode  tersebut kepada Dendi dan Yogi. Hasilnya? Tidak mengecewakan. Bagaimanakah caranya? Kedua anak tersebut saya minta berdiri menghadap ke dinding. Tepat di depannya saya tempelkan kertas HVS. Keduanya saya berikan krayon. Dengan ujung jari telunjuk saya menulis dan mengucapkan huruf abjad satu persatu. Perlu kesabaran memang tetapi saya yakin keduanya pasti bisa. Dan benar, perlahan tapi pasti keduanya berhasil. Rupa-rupanya ada untungnya juga keduanya saya bimbing secara bersamaan, secara tidak langsung keduanya berkompetisi.
Demikianlah salah satu tugas tambahan bagi guru semenjak anak-anak inklusi diperbolehkan bersekolah di sekolah umum. Dan ini belum seberapa. Inklusi artinya anak berkebutuhan khusus tidak lagi harus bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Prinsip dasar dari pendidikan inklusi adalah selama memungkinkan semua anak seyogyanya dapat belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan atau perbedaan yang ada pada mereka. Metode belajar yang digunakan guru pada sekolah inklusi seyogyanya juga bervariasi dan kolaboratif. Pada kasus di atas kemungkinan Dendi dan Yogi mengalami kebutuhan  khusus, yaitu anak yang mengalami hambatan pada satu atau lebih proses psikologis dasar berupa ketidakmampuan mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja dan berhitung.
Pada kasus diatas penanganan yang saya lakukan lebih sederhana akan tetapi pada jenis inklusi lainnya cara menangani atau membantunya tentu lebih rumit dan memerlukan kesabaran ekstra. Anak-anak berkebutuhan khusus ini jenisnya berbeda-beda, maka tentu berbeda juga cara menanganinya.
Adapun jenis-jenis inklusi antara lain adalah disabilitas pendengaran, disabilitas penglihatan, disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas sosial, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif, gangguan spektrum autisma, gangguan ganda, gangguan kemampuan komunikasi, dan anak dengan bakat istimewa.
Hal mendasar yang perlu dilakukan bagi sekolah umum yang menerima anak-anak  inklusi adalah menciptakan pembelajaran yang ramah anak. Bagaimanakah caranya? Mempersiapkan ruangan yang nyaman, guru-guru hendaknya berbicara dengan aksen yang tepat dan nada yang jelas, saling berbagi pengalaman melalui cerita, membiasakan diri mengajar dengan efisien, selalu bersikap baik dan positif.
Kiranya akan lebih baik jika sekolah melakukan identifikasi dan asesmen diagnostik secara periodik. Para guru secara bersama-sama menetapkan metode pembelajaran yang sesuai, membuat program pembelajaran individu, membangun kedekatan pribadi dengan anak, memilih tema pembelajaran yang esensial dan fungsional.
Lalu bagaimanakah sikap orangtua jika memiliki anak berkebutuhan khusus? Sebaiknya bersikap terbuka kepada para guru yang mengajar agar memudahkan guru dalam membantunya belajar, membimbing dan mendidiknya, sedapat mungkin memberikan perhatian, motivasi, dan bimbingan yang berkesinambungan, menanamkan kemandirian kepada anak, meningkatkan kedekatan emosional kepada anak dan sedapat mungkin menggali keterampilan anak.
Perlu kita sadari bersama bahwa setiap anak terlahir unik dengan bakat yang unik pula. Hal yang perlu kita sadari bersama bahwa Allah Tuhan Yang Maha Kuasa telah menciptkan manusia dalam sebaik-baik bentuk. Apabila disisi lain ada kekurangan pasti ada sisi lainnya yang bisa digali kelebihannya. Jangan bersedih, jangan berduka. Banyak jalan menju Roma. Selamat berbahagia para guru, ayah dan bunda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H