“Biarpun ia masih kecil.”
Dengan perasaan kecewa Fatimah pulang ke rumahnya. Keesokan harinya Fatimah kembali berkunjung ke rumah Muti’ah. Setelah mengucapkan salam dan dijawab oleh Muti’ah, Muti’ah bertanya;
“Dengan siapa engkau kemari wahai Fatimah?
“Dengan kedua anakku, Hasan dan Husein.”
“Waduh maafkan saya Fatimah, aku belum bisa menerimamu. Aku meminta ijin kepada suamiku hanya untuk menemuimu dan Husein.
Fatimah kembali pulang ke rumahnya. Untuk yang ketiga kalinya Muti’ah baru bisa menerima kedatangan Fatimah, Hasan dan Husein atas ijin suaminya. Di dalam rumah Muti’ah tidak ada barang mewah dan berharga. Sambil menemani Fatimah, Muti’ah berjalan bolak balik ke dapur karena sedang mempersiapkan masakan untuk suaminya yang sebentar lagi akan pulang dari ladang. Pandangan mata Fatimah tertuju pada 2 benda yang dianggapnya aneh.
“Itu apa Muti’ah?”
“Oh itu cambuk dan kipas.”
“Untuk apa?”
“Kipas aku gunakan untuk mengipasi suamiku yang lelah bekerja di ladang sedangkan cambuk aku sediakan untuk suamiku kalau sekiranya masakan yang aku masak tidak enak dimakan oleh suamiku, itu artinya aku istri yang gagal melayani suami dengan baik.”
Mendengar jawaban Muti’ah, Fatimah baru mengerti mengapa ayahnya mengatakan bahwa Muti’ahlah wanita pertama yang masuk surga karena ketaatannya kepada suaminya. Semoga dijaman millennium ini masih ada wanita-wanita shalehah seperti Muti’ah. Aamiin, aamiin, yaa robbal ‘alamiin.