Mohon tunggu...
Sukma Widari
Sukma Widari Mohon Tunggu... Mahasiswa - undergraduate student

like to create writing

Selanjutnya

Tutup

Beauty

Fashion Has No Gender

26 Desember 2022   15:51 Diperbarui: 26 Desember 2022   15:54 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa Tren pakaian genderless selalu dikaitkan dengan kelompok LGBTQ? stereotip tersebut sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat umum. Genderless merupakan kebebasan cara berpakaian tanpa melihat gender. Masalah utama yang dapat menyebabkan stereotip yakni perbedaan kelompok. Kesetaraan gender merupakan issue social yang terjadi di Indonesia. Presepsi hal ini sudah menjamur sejak lama, dimana masyarakat berpendepat bahwa seseorang yang menggunakan pakaian layaknya wanita disimpulkam sebagai seseorang yang menyukai sesama jenis atau biasa disebut dengan gay. Akan tetapi, pada sebagian orang mengatakan bahwa mereka dapat mengekspresikan dirinya lewat pakaian yang dikenakan seperti yang dikatakan oleh Umberto Eco "i speak through my cloth". Menurut Emerson 1963 terdapat empat fungsi dari kebebasan berekspresi diantaranya, untuk menjamin kepuasan diri sebagai indivu, menjadi penghubung untuk mendapatkan kebenaran, mendapatkan cara untuk  meningkatkan partisipasi anggota masyarakat dalam bidang sosial dan  politik, melindungi kesetaraan antara stabilitas dan perubahan dalam masyarakat.

Pakaian merupakan salah satu indikator kelas dan gender yang paling berhasil oleh karena itu dapat berfungsi sebagai pertahanan batas simbolik dalam masyarakat. Genderless fashion kerap berdampingan dengan andrognynous fashion, jika dilihat dari definisinya kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Andrognynous fashion merupakan seseorang yang menggabungkan kedua unsur yakni maskulin dan feminism, misalnya pada atasan menggunakan blazer wanita dan bawahannya celana pria. Sedangkan genderless fashion adalah  rancangan sebuah pakaian tanpa memandang jenis kelamin, oleh karena itu  setiap individu pria atau wanita dapat mengekspresikan pakaian apapun tanpa memandang gender. Dapat disimpulkan bahwa andrognynous fashion dan genderless fashion memiliki makna yang berbeda. Jika genderless fashion lebih kepada proses bagaimana suatu busana dirancang, sedangkan andrognynous fashion lebih kepada bagaimana individu tersebut menentukkan orintasi gender seperti apa yang diinginkannya.

Istilah genderless fashion dan andrognynous fashion kembali booming pada tahun 2020 ketika seorang artist bernama Harry Styles tampil dengan menggunakan gaun rancangan merk terkenal seperti Gucci yang dibuat secara eksklusif untuk pemotretan, tidak hanya itu saat konser albumnya Harry menggunakan pakaian yang feminim. Selain itu di Indonesia content creator Jovi Adhiguna Hunter juga mengakui bahwa dirinya merupakan seorang androgyne. Jovi mengatakan ia menyukai pakaian yang feminim, tidak jarang juga ia menggabungkan antar keduanya. Seorang designer terkenal Indonesia yang turut menggunakan pakaian andrognynous fashion  yakni Ivan Gunawan. Harry Styles, Jovi Adhiguna Hunter, dan Ivan Gunawan merupakan salah satu contoh pria yang memiliki fitur dari orientasi gender wanita dan pria.

Busana merupakan jenis komunikasi non-verbal yang paling berhasil. Bentuk pakaian dari atasan hingga bawahan secara keseluruhan memunculkan sebuah konsep yang disebut fashion. Menurut Troxell dan Stone, 1981 Fashion merupakan gaya yang dapat disetujui oleh sebagian besar anggota suatu kelompok dan dapat digunakan pada waktu tertentu. Trend genderless fashion sudah banyak ditekuni oleh designer luar negeri seperti Neil Barrett, J. W Anderson, Rad Hourani, dan Rick Owens. Melihat perkembangan fashion yang terjadi di luar negeri membuat salah satu designer Indonesia yang bekerja di brand terkenal yakni Uniqlo meluncurkan pakaian yang berkonsep genderless atau unisex. Hal ini dilakukan untuk mempermudah siapapun dapat dengan bebas mengekspresikan diri melalui gaya berpakaian.

Sejarah perkembangan pakaian pada awalnya tidak menujukkan jenis kelamin seperti pakaian pria di Yunani atau pakaian tradisional khas Skotlandia memiliki bentuk yang mirip dengan rok atau skrit. Selain itu dibagian Timur para wanita justru menggunakan pakaian celana panjang. Di timur tengah seperti Mesir, Saudi Arabia, Qatar, dan Dubai para wanita dan pria menggunakan pakaian yang sama sepeti dress dengan lengan dan potongan yang panjang. Dapat disimpulkan pada zaman dahulu tidak ada kategori pakaian khusus laki-laki maupun perempuan.

Maskulin yakni sejenis dengan bentuk figure kelelakian terhadap pria. Secara lazim maskulintas tradisional berpendapat bahwa nilai-nilai yang tinggi mencakup kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakananan, dan kerja yang mempresentasikan laki-laki. Sedangkan sesuatu yang dianggap rendah meliputi hubungan interpersonal, kemampuan verbal, kelembutan, komunikasi, kehidupan yang merepresentasikan perempuan dan anak-anak. Dalam kehidupan bersosial jika pria berpenampilan feminim, emosional, lemah lembut akan dianggap gagal menjadi pria yang maskulin, oleh karena itu kebanyakan pria dipaksa untuk menjadi maskulin.

Pria metroseksual memiliki pemahaman mengenai cara berpenampilan selayaknya perempuuan dan berbanding jauh dari kata maskulin. Metroseksual berasal dari etimologi Yunani metropolis yang berarti modal dan seksualitas. Pengertiannya digambarkan dengan pemuda yang berpenampilan dandy (pesolek atau suka berdandan), suka mempercantik diri, begitu peduli dengan penampilannya, suka menjadi pusat perhatian, begitu tertarik dengan fashion dan berani menujukkan sisi feminimnya. Para pria metroseksual dianggap sebagai figure yang narsisitik, mereka jatuh cinta tidak hanya pada diri mereka sendiri, tetapi pada gaya hidup khas perkotaan. Yang lebih menarik pada kategori pria "swinging" (seseorang yang menarik dan berkeinginan mencari perhatian karena kemewahan, kepercayaan  diri dan gayanya) meskipun terlihat "manis" tidak harus berkaitkan dengan gay atau homoseksual.

Konsep pria metroseksual cenderung berkiblat pada gaya hidup pria urban yang memiliki penghasilan diatas UMKM dan sangat memperhatikan penampilan dan citra terhadap dirinya. Kebudayaan ini berkesinambungan dengan sifat kapitalisme, konsumerisme, dan narsisme. Laki-laki metroseksual akan sangat peduli pada penampilan, mereka biasanya lebih paham terhadap mode-mode yang up to date, mereka cenderung memilih pakaian yang berkualitas dan bermerek untuk meningkatkan citra dirinya, serta memiliki kebiasaan merawat diri seperti menggunakan skincare atau makeup, pergi ke salon untuk spa atau treatment, melakukan perawatan lainnya seperti manicure atau pedicure.

Konsep genderless fashion dan andrognynous fashion hadir untuk mewujudkan salah satu bentuk kesetaraan gender. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa kesetaraan gender merupakan suatu kondisi dimana laki-laki dan perempuan dapat memiliki kesempatan untuk mendapatkan haknya sebagai manusia, bertujuan agar mereka mampu berpastisipasi dalam kegiatan ekonomi, social budaya, pendidikan, politik, hukum serta keamanan dalam menikmati hasil pembangunan. genderless fashion dan andrognynous fashion juga dituntut untuk dapat menghapus batasan antara streotipe maskulin dan feminism. Dengan mengubah mindset cara berpakaian baik pria dan wanita sudah tidak ada lagi dibatasi oleh konsep tersebut, mereka berhak dalam mengekspreasikan dirinya dalam berpakaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun