Mohon tunggu...
Abrurizal Wicaksono
Abrurizal Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bebas

Suka olahraga lari, jalan kaki atau sepeda deket - deket aja..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menepi dari Riuh, Meresapi Sunyi

22 Januari 2025   13:52 Diperbarui: 22 Januari 2025   13:52 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menepi dan sendiri | Sumber gambar : dokumen pribadi

Tahun 2025 diawali dengan grudak gruduk yang tak terelakkan. Seolah kehidupan berjalan dengan ritme yang tak mau kompromi, memaksa setiap individu untuk tetap bertahan dalam hiruk-pikuk yang melelahkan. Aku, yang awalnya hanya ingin menghilang sejenak dari peredaran dunia maya, kini semakin mantap untuk benar-benar hiatus total. Rasanya sudah cukup dijejali dengan berbagai ekspektasi dan narasi yang membagongkan. Aku butuh jeda, butuh ruang untuk bernapas di luar dari semua tuntutan yang terus menghantui.


Puasa dari beberapa media sosial atau detoks digital mungkin adalah langkah yang paling masuk akal. Aku memilih untuk fokus pada hal-hal yang lebih nyata, seperti menulis di beberapa forum, salah satunya Quora Indonesia. Setidaknya, dengan menulis aku bisa menuangkan kegelisahan dan keresahan yang selama ini hanya tersimpan di sudut pikiranku. Mungkin juga, dengan kembali menekuni beberapa hobi yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupku, aku bisa menemukan kembali diriku yang lama hilang.

Minggu lalu, aku mencoba untuk bernostalgia dengan bermain game di Playstation, sesuatu yang dulu bisa dengan mudah membawaku pada kebahagiaan sederhana. Namun sayangnya, kesenangan itu hanya sesaat. Aku yang berharap bisa menghabiskan akhir pekan dengan menyepi, menikmati waktu sendiri, ternyata harus berhadapan dengan begitu banyak distraksi. Bunyi notifikasi dari ponsel, tugas-tugas yang masih menumpuk di sudut meja, bahkan sekadar suara berisik dari luar jendela cukup untuk merusak momen yang sudah kurencanakan dengan baik. Pada akhirnya, aku semakin menyesal dan berpikir bahwa mengambil cuti di hari kerja mungkin adalah pilihan yang lebih bijak daripada berharap akhir pekan akan berjalan sesuai harapan.

Menjadi dewasa ternyata adalah tentang merelakan. Ada banyak kesenangan di masa muda yang kini terasa semakin jauh dari jangkauan. Bermain musik, sekadar duduk berjam-jam di depan konsol, atau bahkan hanya menikmati secangkir kopi tanpa gangguan, semuanya perlahan menjadi kenangan yang sulit untuk diulang. Prioritas kini bergeser, lebih banyak waktu yang harus kuluangkan untuk keluarga kecilku, dan di sisi lain aku harus mengubur beberapa mimpi yang dulu pernah menggebu. Mungkin memang inilah saatnya untuk benar-benar menghilang dari peredaran dunia maya, menghindari semua ekspektasi palsu dan berusaha menikmati kesendirian dengan tulus.

Pagi ini, aku menemukan sebuah kutipan dari Squidward di Spongebob yang berbunyi, "Hidup itu tidak adil, jadi terbiasalah." Kutipan itu terasa begitu dekat denganku, seolah menjadi pengingat yang selama ini tak kusadari. Aku harus membiasakan diri dengan semua perubahan ini, dengan semua kompromi yang harus kuterima. Tidak semua hal bisa berjalan sesuai keinginanku, dan tidak semua keinginan bisa diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Mungkin memang hidup adalah tentang menerima dan melanjutkan langkah, meski tanpa semangat yang sama seperti dulu.

Aku harus bisa, meskipun terkadang rasanya ingin menyerah. Aku harus bisa, meskipun di dalam hati kecilku aku tahu bahwa sesuatu telah berubah selamanya.

Ada saat-saat di mana aku merasa terjebak dalam rutinitas yang melelahkan. Bangun pagi, menjalani hari yang terasa serupa, dan di malam hari aku hanya ingin mengistirahatkan diri dari segala kebisingan yang ada. Aku merindukan momen-momen spontan yang dulu pernah menghiasi hariku, seperti pergi tanpa rencana, duduk di kafe dengan buku favorit, atau sekadar berjalan kaki di tengah hujan tanpa harus mengkhawatirkan apa pun. Namun, semakin lama aku menjalani kehidupan ini, semakin aku sadar bahwa spontanitas itu kini hanya sekadar impian.

Keinginan untuk menyendiri semakin kuat, seolah menjadi satu-satunya jalan untuk menemukan ketenangan yang selama ini kucari. Aku mulai memperhatikan hal-hal kecil di sekitarku, seperti suara detik jam di kamar yang dulu tak pernah kusadari, atau caraku mengaduk kopi di pagi hari yang terasa seperti ritual yang menenangkan. Mungkin hidup memang bukan tentang pencapaian besar, tapi tentang bagaimana kita menikmati momen-momen kecil yang sering terlewatkan.

Namun, di sisi lain, ada perasaan hampa yang terus menghantuiku. Aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku yang dulu penuh semangat dan harapan. Aku bertanya-tanya apakah ini hanya fase, ataukah aku benar-benar berubah menjadi seseorang yang berbeda? Kadang aku takut menghadapi kenyataan bahwa mungkin aku memang telah berubah, dan tak ada jalan untuk kembali menjadi diriku yang dulu.

Aku melihat orang-orang di sekitarku masih berlari mengejar mimpi-mimpi mereka, sementara aku hanya diam di tempat, merenungi apa yang sebenarnya ingin kukejar. Aku merasa tersisih, seperti penonton yang hanya menyaksikan kehidupan orang lain berjalan sementara aku terjebak dalam lingkaran yang tak berujung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun