Mengawali tahun 2025, saya kembali mencoba menjadikan membaca buku sebagai bagian dari rutinitas harian. Setelah sempat terhenti karena padatnya pekerjaan dan berbagai kesibukan di tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2024 saya mulai membuka kembali buku-buku yang sudah lama terabaikan. Selain itu, saya juga memanfaatkan waktu untuk belajar menulis di beberapa platform.
Mungkin karena waktu itu banyak waktu yang luang pasca layoff, saya juga berpikiran kenapa tidak menyampaikan ide baik tertulis maupun dalam bentuk visual. Salah satu yang saya rencanakan adalah membuat vlog. Beberapa episode --- mungkin ada lima episode vlog --- telah saya buat, dan saya merasa cukup puas sebelum akhirnya memutuskan untuk menutupnya lebih awal. Saya sadar bahwa dari semua aktivitas tersebut, membaca buku dan menulis, terutama di Kompasiana, adalah dua hal yang mampu saya jalani secara konsisten.
Membaca Buku dan Visi Indonesia Emas 2045
Berbicara mengenai membaca buku, saya teringat pada visi "Indonesia Emas 2045" yang sering dicanangkan. Momen ini membuat saya semakin sadar bahwa kebiasaan membaca buku saat ini seolah menjadi sesuatu yang "ajaib." Hal ini terutama terlihat di kalangan generasi muda. Membaca buku, termasuk bahan pelajaran sekalipun, sepertinya menjadi aktivitas yang semakin langka. Berdasarkan survei UNESCO, minat baca di Indonesia hanya sebesar 0,001% --- artinya dari 1.000 orang, hanya satu yang memiliki minat baca serius.
Fenomena ini kontras dengan pengalaman saya saat berada dalam lingkungan profesional yang dikelilingi oleh individu-individu kritis. Lingkungan ini sering menjadi tempat diskusi yang kaya dan produktif, bahkan obrolan di warung kopi pun dapat menjadi sarana berbagi wawasan karena banyaknya orang akademis di sekitar.
Namun, suasana ini berubah drastis ketika saya pulang ke rumah di akhir pekan. Perbedaan cara pandang dan pola komunikasi sangat terasa. Saya tidak membatasi diri untuk berbicara dengan siapa pun, tetapi ada kalanya saya memilih untuk menghindari diskusi yang berat sebelah atau tidak berbobot. Bagi saya, ini bukan soal merasa memiliki privilege tertentu, melainkan bagaimana kita dapat bersikap bijak dalam berbicara dan mengambil keputusan.
Menumbuhkan Minat Baca Secara Bertahap
Menumbuhkan minat membaca memang tidak bisa dilakukan secara instan. Proses ini memerlukan upaya bertahap dan konsistensi. Dengan Indonesia Emas 2045 yang kini hanya tinggal 20 tahun lagi, saya percaya bahwa upaya kolektif diperlukan untuk membangun budaya literasi. Tidak cukup hanya dengan program makan gratis atau sekadar memberikan bantuan materi. Penyediaan akses terhadap bahan bacaan yang edukatif dan ruang dialog terbuka sangatlah penting. Tanpa itu, kita berisiko menghadapi dampak negatif dari serangan masif media sosial, yang sering kali menyajikan informasi dangkal atau bahkan menyesatkan.
Literasi sebagai Pilar Kemajuan
Mengutip pendapat ekonom dunia, Amartya Sen, "Pembangunan manusia sejati adalah pembangunan yang melibatkan kebebasan untuk memperoleh pengetahuan dan akses terhadap sumber daya yang memungkinkan seseorang untuk menjalani kehidupan yang bernilai." Kutipan ini menegaskan pentingnya literasi sebagai salah satu elemen fundamental dalam pembangunan manusia. Literasi bukan hanya soal kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga melibatkan kemampuan berpikir kritis dan memahami konteks. Tanpa literasi yang kuat, masyarakat akan rentan menjadi "generasi sumbu pendek," mudah tersulut emosinya tanpa memahami esensi dari sebuah isu. Sebagai contoh, data PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan bahwa kemampuan membaca pelajar Indonesia pada tahun 2018 berada di peringkat 74 dari 79 negara.