sosial adalah hal yang lumrah. Namun, momen yang seharusnya bahagia itu dirusak oleh komentar yang tidak menyenangkan. Komentar tersebut, yang berbau body shaming, mengingatkan saya bahwa di tahun 2024 menjelang 2025, hal semacam itu sudah seharusnya dianggap usang dan tidak elegan, terutama jika datang dari orang yang jarang kita temui dan minim interaksi.Body Shaming dan Dampaknya
Beberapa hari yang lalu, saya mengunggah foto keluarga dari sebuah pertemuan yang jarang terjadi. Dalam era digital seperti sekarang, mengabadikan momen dan membagikannya di mediaBody shaming, atau tindakan mengomentari fisik seseorang dengan cara yang merendahkan, adalah isu yang terus menjadi perhatian. Dalam konteks psikologi, body shaming dapat menyebabkan dampak negatif pada kesehatan mental, seperti menurunnya kepercayaan diri, kecemasan, dan depresi. Ahli psikologi seperti Dr. Linda Papadopoulos menyatakan bahwa komentar tentang tubuh sering kali berakar pada standar kecantikan yang sempit dan bias budaya yang tidak realistis. Ketika seseorang menerima komentar negatif tentang fisiknya, mereka mungkin merasa tidak diterima atau tidak cukup baik.
Pada dasarnya, komentar tentang fisik bukan hanya tidak etis, tetapi juga tidak relevan. Dalam masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya kesehatan mental, body shaming harus dilihat sebagai perilaku yang tidak dapat diterima. Sebaliknya, kita perlu menciptakan budaya di mana semua orang merasa dihargai, terlepas dari penampilan fisiknya.
Keseragaman dan Basa-Basi yang Tidak Berfaedah
Sikap diam sering kali dipandang sebagai pilihan yang bijak dalam situasi tertentu, terutama ketika berhadapan dengan topik yang sensitif seperti perubahan fisik seseorang. Saya pribadi memilih untuk tidak memberikan komentar ketika melihat seseorang yang lama saya kenal mengalami perubahan, baik secara fisik maupun aspek lainnya. Basa-basi yang tidak berfaedah hanya akan memperkeruh suasana dan berpotensi melukai perasaan orang lain. Dalam masyarakat yang beragam, penting untuk memahami bahwa tidak semua orang menyukai atau menerima komentar, bahkan jika itu dimaksudkan sebagai basa-basi.
Kita hidup di dunia yang semakin individualistis, di mana setiap orang memiliki batasan pribadi yang berbeda. Oleh karena itu, membatasi basa-basi adalah langkah bijak. Jika tidak ada topik yang relevan atau bermanfaat, diam adalah solusi terbaik. Seperti kata pepatah, "Jika tidak bisa berkata baik, lebih baik diam." Sikap ini tidak hanya menunjukkan penghormatan terhadap orang lain, tetapi juga membantu menghindari situasi yang canggung.
Masyarakat dengan SDM Rendah dan Media Sosial
Tidak dapat disangkal bahwa media sosial telah menjadi ruang terbuka di mana siapa saja dapat berbicara, termasuk mereka yang memiliki tingkat pendidikan atau wawasan yang rendah. Dalam lingkungan dengan sumber daya manusia (SDM) yang kurang, maraknya media sosial sering kali memperburuk situasi. Komentar negatif, kritik tanpa dasar, dan body shaming menjadi lebih mudah dilontarkan tanpa memikirkan dampaknya. Hal ini mencerminkan betapa bobroknya kualitas SDM tertentu yang tidak mampu memanfaatkan teknologi secara positif.
Secara ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan dalam suatu masyarakat berkontribusi langsung terhadap rendahnya produktivitas tenaga kerja. Teori Human Capital, yang dikemukakan oleh ekonom seperti Gary Becker, menekankan bahwa pendidikan adalah bentuk investasi dalam modal manusia yang meningkatkan produktivitas dan pendapatan individu. Ketika pendidikan diabaikan, potensi ekonomi suatu individu dan masyarakat secara keseluruhan tidak dapat berkembang secara optimal. Akibatnya, masyarakat dengan SDM rendah lebih rentan terhadap pengangguran, pekerjaan dengan upah rendah, dan kesenjangan sosial yang lebih besar. Hal ini pada gilirannya menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus.
Sebagian besar dari mereka yang gemar melontarkan komentar negatif sering kali tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan mencerminkan kurangnya empati, pendidikan, dan kesadaran sosial. Mereka lebih memilih mencari kepuasan instan melalui kritik yang menyakitkan daripada membangun komunikasi yang konstruktif. Sikap seperti ini tidak hanya merugikan korban komentar negatif, tetapi juga memperburuk citra masyarakat secara keseluruhan.
Kritik terhadap Program Sosial
Pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk perspektif seseorang, termasuk dalam hal bagaimana kita memperlakukan orang lain. Sayangnya, tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas. Hal ini terlihat dalam bagaimana standar sosial dibentuk oleh lingkungan. Dalam lingkungan dengan kualitas sumber daya manusia yang rendah, komentar negatif atau basa-basi yang tidak relevan mungkin dianggap wajar. Namun, hal ini tidak berarti kita harus membiarkannya.
Baru-baru ini, salah satu calon presiden mengusulkan program untuk mengurangi kesenjangan antara mereka yang terdidik dan yang tidak. Anies Baswedan, misalnya, mengusung program pendidikan yang terperinci, mulai dari akses pendidikan berkeadilan, beasiswa untuk siswa berpotensi dari keluarga miskin, hingga perbaikan kesejahteraan guru, terutama di daerah terpencil. Selain itu, ia juga berkomitmen untuk memastikan keterjangkauan pendidikan tinggi bagi semua lapisan masyarakat.