Mohon tunggu...
Abrurizal Wicaksono
Abrurizal Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bebas

Suka olahraga lari, jalan kaki atau sepeda deket - deket aja..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memilih Diam : Mencari Ketenangan di Tengah Hingar Bingar Dunia

16 Desember 2024   16:46 Diperbarui: 16 Desember 2024   16:46 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Silent moment | Sumber: dokumen pribadi

Akhir-akhir ini, saya merasa semakin bosan dengan media sosial. Berulang kali saya mendapati diri hanya scrolling tanpa niat untuk memposting atau berbagi kabar. Bahkan, ada rasa kepuasan tersendiri dalam aktivitas lama yang lebih sederhana seperti membaca atau tertidur dengan ritme yang teratur. Seolah-olah, ada panggilan untuk kembali kepada sesuatu yang lebih mendasar dan tenang.

Mungkin saya sudah di tahap jenuh untuk aktif. Pesan di WhatsApp yang masuk sering kali saya biarkan tanpa balasan. Bukan karena saya tidak peduli, tetapi karena ada keinginan untuk menjauh dari smartphone itu sendiri. Saya merasa lebih menikmati waktu tanpa gangguan digital, dan hal ini membawa saya pada refleksi yang lebih dalam tentang ketidakacuhan yang disengaja, serta bagaimana hal tersebut sejalan dengan filosofi stoikisme.

Ketidakacuhan yang Membebaskan

Ketidakacuhan bukan berarti tidak peduli, melainkan memilih dengan bijak apa yang layak mendapatkan perhatian kita. Dalam stoikisme, ada sebuah konsep yang dikenal sebagai "dichotomy of control" atau dikotomi kendali. Filosofi ini mengajarkan bahwa ada hal-hal yang berada di luar kendali kita, seperti pendapat orang lain, peristiwa eksternal, atau bahkan suasana hati orang lain. Sebaliknya, ada hal-hal yang sepenuhnya dalam kendali kita, seperti pikiran, tindakan, dan respons kita terhadap situasi.

Ketika kita memahami perbedaan ini, kita bisa lebih tenang dan fokus pada apa yang benar-benar penting. Ketidakacuhan yang disengaja terhadap hal-hal sepele, seperti drama di media sosial atau keluhan rekan kerja, dapat menjadi langkah pertama menuju kebebasan emosional. Marcus Aurelius, seorang kaisar Romawi yang juga filsuf Stoik, pernah menulis dalam Meditations: "You have power over your mind -- not outside events. Realize this, and you will find strength."

Menjauh dari Hingar Bingar

Saya mendapati bahwa semakin bertambahnya usia, semakin besar kebutuhan saya untuk ketenangan. Ada kenikmatan tersendiri dalam momen-momen sederhana -- berkeliling kota kecil bersama istri dan anak, membaca buku favorit, atau sekadar menikmati waktu tanpa gangguan. Dalam budaya yang sering kali mendorong kita untuk selalu sibuk, menjauh dari hingar bingar adalah tindakan yang revolusioner.

Dalam bukunya Silence: In the Age of Noise, Erling Kagge menulis bahwa kesunyian adalah bentuk kebebasan. Ia mengatakan bahwa kesunyian bukan hanya tentang tidak berbicara, tetapi juga tentang melepaskan diri dari kebutuhan untuk selalu merespons dunia di sekitar kita. Dengan memeluk kesunyian, kita bisa mendengar diri kita sendiri dan menemukan apa yang benar-benar penting.

Memilih untuk Diam

Diam bukan berarti pasif atau tidak peduli. Diam bisa menjadi bentuk protes terhadap kebisingan yang tidak perlu. Dalam dunia yang selalu berusaha menarik perhatian kita -- dengan notifikasi, iklan, dan tuntutan sosial -- diam adalah cara untuk merebut kembali kendali atas perhatian kita.

Ketika saya memilih untuk tidak merespons keluhan seorang teman tentang pekerjaannya, itu bukan karena saya tidak peduli, tetapi karena saya ingin menjaga energi saya untuk hal-hal yang lebih produktif. Dalam stoikisme, ini dikenal sebagai apatheia, yaitu keadaan ketenangan jiwa yang tercapai ketika kita tidak lagi terganggu oleh emosi negatif.

Mencari Kebahagiaan dalam Hal-hal Sederhana

Dalam perjalanan menjauh dari media sosial, saya menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Ada keindahan dalam mengabaikan racauan dan memilih untuk fokus pada diri sendiri. Ketika kita berhenti membandingkan hidup kita dengan orang lain, kita mulai menghargai apa yang kita miliki.

Filosofi stoik juga mengajarkan pentingnya bersyukur. Epictetus, salah satu filsuf Stoik terkenal, mengatakan: "He is a wise man who does not grieve for the things which he has not, but rejoices for those which he has." Dengan berhenti melihat keluhan orang lain, saya juga belajar untuk mengurangi keluhan saya sendiri dan lebih banyak bersyukur.

Menenangkan Diri di Dunia yang Sibuk

Ketenangan adalah sebuah seni yang harus dipelajari dan dilatih. Dalam dunia yang sibuk ini, ada banyak cara untuk menemukan ketenangan. Beberapa orang menemukannya dalam meditasi, yoga, atau berjalan di alam. Bagi saya, ketenangan ditemukan dalam momen-momen sederhana -- seperti membaca buku di sore hari, menikmati secangkir kopi tanpa gangguan, atau menghabiskan waktu bersama keluarga tanpa distraksi digital.

Ryan Holiday, seorang penulis modern yang sering mengangkat tema stoikisme, mengatakan dalam bukunya Stillness Is the Key: "True stillness is not about inaction but about finding clarity in the chaos." Dengan menjauh dari media sosial dan memilih diam, saya merasa menemukan kejelasan dalam hidup saya.

Mengurangi Beban Pikiran

Salah satu alasan mengapa saya semakin enggan untuk terlibat dalam hal-hal sepele adalah karena saya menyadari bahwa pikiran kita memiliki kapasitas yang terbatas. Jika kita mengisinya dengan hal-hal yang tidak penting, kita tidak akan memiliki ruang untuk hal-hal yang benar-benar bermakna. Seperti yang dikatakan Seneca, "It is not that we have a short time to live, but that we waste a lot of it."

Mengurangi beban pikiran adalah langkah pertama menuju hidup yang lebih tenang. Dengan memilih untuk diam, saya merasa lebih ringan dan lebih fokus. Saya juga belajar untuk lebih selektif dalam memilih apa yang layak mendapatkan perhatian saya.

Sebuah Undangan untuk Refleksi

Dalam menulis ini, saya tidak bermaksud untuk menggurui atau memberikan solusi universal. Sebaliknya, saya ingin mengundang Anda untuk merenungkan: Apa yang sebenarnya penting dalam hidup Anda? Apakah Anda merasa terbebani oleh ekspektasi sosial dan hiruk pikuk dunia digital? Jika ya, mungkin sudah saatnya untuk berhenti sejenak, menjauh dari kebisingan, dan menemukan ketenangan dalam diam.

Diam bukan berarti menyerah atau mengabaikan. Diam adalah cara untuk menemukan kembali diri kita, untuk menghargai apa yang kita miliki, dan untuk fokus pada hal-hal yang benar-benar penting. Dalam dunia yang selalu berusaha menarik perhatian kita, memilih untuk diam adalah bentuk keberanian.

Penutup

Pada akhirnya, memilih diam adalah perjalanan pribadi yang mungkin berbeda bagi setiap orang. Bagi saya, ini adalah cara untuk menemukan ketenangan di tengah dunia yang sibuk. Bagi Anda, mungkin ada cara lain yang lebih sesuai. Yang jelas, dalam perjalanan hidup ini, kita semua membutuhkan momen untuk berhenti sejenak, merenung, dan menemukan apa yang benar-benar penting.

Seperti yang dikatakan oleh Lao Tzu: "Silence is a source of great strength." Dalam diam, kita bisa menemukan kekuatan yang tidak akan kita temukan dalam kebisingan. Jadi, mari kita hargai momen-momen ketenangan itu, dan gunakan mereka untuk menjadi versi terbaik dari diri kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun