Mohon tunggu...
Abrurizal Wicaksono
Abrurizal Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bebas

Suka olahraga lari, jalan kaki atau sepeda deket - deket aja..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mewaspadai Rencana Kenaikan Gaji Guru Honorer

29 November 2024   06:30 Diperbarui: 29 November 2024   06:36 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru mengajar | Sumber : pribadi

"Pahlawan Tanpa Tanda Jasa: Antara Harapan dan Kenyataan"
"Tugas seorang pendidik adalah menyalakan api, bukan mengisi bejana." -- William Butler Yeats
"Dalam ekonomi, kita harus memahami bahwa keputusan kecil hari ini menciptakan konsekuensi besar esok hari." -- John Maynard Keynes


Disclaimer:
Tulisan ini adalah opini pribadi yang bertujuan untuk mengajak berdiskusi, bukan untuk menyerang pihak manapun. Harap dibaca dengan kepala dingin dan hati terbuka. Jika ada pandangan yang berbeda, mari berdialog dengan santun dan penuh penghormatan.

Guru, kata yang singkat, tetapi memuat makna yang begitu besar. Mereka adalah orang tua kedua di sekolah, pembimbing ilmu, penjaga moral, sekaligus pahlawan tanpa tanda jasa. Tidak ada yang meragukan bahwa tanpa guru, kita tidak akan pernah sampai pada titik ini---menulis, berbicara, bahkan berpikir kritis. Namun, ketika wacana kenaikan gaji guru honorer muncul, respons publik menjadi beragam.

Ada yang mendukung tanpa syarat, ada pula yang mengkritik dari sisi logis dan struktural. Saya pribadi termasuk kelompok kedua. Tapi sebelum Anda keburu emosi, mari kita telaah bersama dengan sudut pandang yang lebih luas.


Distribusi Guru: Ketimpangan yang Menyakitkan

Mari kita mulai dari fakta yang cukup menyakitkan: persebaran guru di Indonesia tidak merata. Di kota-kota besar, jumlah guru melimpah, bahkan bisa terjadi kelebihan tenaga pengajar. Sementara itu, di pelosok negeri, guru bagaikan harta karun---langka dan sulit ditemukan.

Contoh paling nyata bisa kita lihat di Papua atau daerah-daerah terpencil di Sumatera. Di sana, banyak sekolah yang hanya memiliki satu atau dua guru untuk mengajar semua mata pelajaran. Sementara itu, di Jawa, terutama kota besar seperti Surabaya atau Yogyakarta, guru yang melamar ke satu sekolah bisa mencapai ratusan orang.


Masalahnya di mana?

Salah satunya adalah pemetaan kebutuhan guru yang buruk. Sebelum adanya kebijakan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), penempatan guru honorer sering kali asal-asalan. Selama mereka dekat dengan domisili, sekolah cukup menganggarkan dana seadanya untuk menggaji mereka. Akibatnya, banyak sekolah yang tidak memiliki tenaga pengajar sesuai kebutuhan.
Kalau mau adil, harusnya bagaimana?

Distribusi guru harus berbasis pada kebutuhan nyata di setiap wilayah. Kalau perlu, buat insentif khusus untuk mereka yang mau mengajar di daerah terpencil. Tapi jangan cuma insentif nominal, kasih juga pelatihan berkualitas biar mereka siap menghadapi tantangan di lapangan.


Supply and Demand di Dunia Pendidikan

Mari kita berpindah ke perspektif ekonomi. Dalam teori supply and demand, jika penawaran lebih besar daripada permintaan, maka harga (dalam hal ini gaji) cenderung rendah. Situasi ini sangat relevan dengan dunia pendidikan kita saat ini.

Setiap tahun, ribuan lulusan keguruan dihasilkan oleh universitas-universitas di seluruh Indonesia. Namun, sayangnya, kualitas lulusan ini tidak seragam. Ada yang benar-benar memiliki passion dan kompetensi menjadi guru, ada pula yang sekadar mengejar gelar.

Masalahnya apa kalau semua digaji besar?

Jika gaji guru honorer naik drastis tanpa memperhatikan kualitas, ini akan mendorong lebih banyak orang asal-asalan kuliah keguruan demi mengejar gaji besar. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan masalah baru: pendidikan kita akan kehilangan esensinya.

Bayangkan, anak Anda diajar oleh guru yang orientasinya cuma duit. Hasilnya, bukannya mencetak generasi emas, kita malah menciptakan generasi yang bingung, karena gurunya sendiri tidak paham apa yang diajarkan.

Humor Jawa: Murid Cerdas, Guru Bingung

Biar suasana nggak terlalu tegang, kita selipkan sedikit humor.
"Suatu hari, guru bertanya kepada muridnya: 'Cah-cah, apa sih alasanmu ingin jadi guru?'
Murid menjawab: 'Amargi guru saiki gajine iso dadi gede, Bu!'
Guru balas sambil senyum: 'Yo, nek mung mikir gaji, mending kowe dadi peternak. Wong bebek wae koyo arep PNS saiki, digawe proyek platinum.'"

Humor ini sebenarnya sindiran halus. Kalau jadi guru hanya karena melihat nominal, maka esensi mendidik yang sesungguhnya akan hilang.


Kualitas vs Kuantitas: Pilih yang Mana?

Kita sering mendengar tentang Indonesia Emas 2045, di mana Indonesia ditargetkan menjadi salah satu negara dengan ekonomi dan sumber daya manusia terbaik di dunia. Namun, bagaimana caranya kita mencapainya jika kualitas pendidikan masih dipertanyakan?
Gaji guru memang penting, tetapi lebih penting lagi untuk memastikan bahwa mereka yang mendapat gaji tersebut benar-benar layak. Dalam dunia kerja, gaji adalah bentuk penghargaan atas kualitas dan kontribusi. Jika kualitas rendah tetapi gaji tinggi, ini hanya akan menciptakan ketidakadilan.

Lantas, bagaimana solusinya?

1. Peningkatan Seleksi Guru Honorer: Proses seleksi harus lebih ketat, memastikan hanya mereka yang benar-benar kompeten yang bisa mengajar.

2. Pelatihan Berkelanjutan: Guru honorer harus diberikan pelatihan berkala untuk meningkatkan kemampuan mereka.

3. Insentif Berdasarkan Wilayah: Berikan insentif tambahan bagi guru yang mau ditempatkan di daerah terpencil atau memiliki beban kerja yang lebih berat.

Kita sering menyalahkan pemerintah atas rendahnya gaji guru honorer, tetapi sudahkah kita introspeksi? Banyak lulusan keguruan yang tidak siap mengemban amanah menjadi pendidik. Proses pendidikan mereka sendiri sering kali asal-asalan. Maka, hasilnya pun tidak optimal.

Selain itu, perlu diingat bahwa guru bukanlah sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa. Kalau orientasinya hanya uang, maka kita kehilangan makna dari profesi mulia ini.

Pendidikan Indonesia memang masih banyak PR-nya. Guru adalah elemen penting dalam proses ini, tetapi mari kita pastikan bahwa mereka yang mendidik adalah yang terbaik. Jangan sampai karena orientasi gaji, kualitas anak-anak kita yang menjadi taruhannya.
Jadi, sebelum bermimpi menciptakan Indonesia Emas 2045, ayo bangun dulu sistem pendidikan yang kokoh. Dan untuk itu, kita semua harus kerja keras---guru, pemerintah, dan masyarakat. Kalau cuma ngimpi? Ngimpi sek, mas. Wong mimpi ora bayar!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun