Opini pengamat politik dan lingkungan mendukung sentimen ini. Arga Pribadi Imawan dari Universitas Gadjah Mada menegaskan bahwa baliho cenderung bersifat simbolis tanpa nilai informatif bagi pemilih. Sementara itu, pakar lingkungan seperti Dr. Jatnika menekankan dampak ekologis yang merugikan. "Penggunaan baliho hanya menunjukkan simbolisasi ego kandidat, tanpa memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat," katanya.
---
Solusi: Kampanye Modern dan Berkelanjutan
1. Digitalisasi Kampanye:
Media sosial seperti YouTube dan Instagram tidak hanya lebih ramah lingkungan tetapi juga efektif menjangkau kelompok pemilih muda.
2. Kampanye Berbasis Aksi Nyata:
Kandidat dapat memperkenalkan program mereka melalui aksi langsung seperti penghijauan, pembersihan lingkungan, atau pelatihan keterampilan.
3. Regulasi yang Lebih Tegas:
KPU perlu menetapkan aturan ketat yang melarang pemasangan baliho secara nasional dan mendorong kampanye berbasis digital atau kegiatan langsung.
---
Sudut Pandang Penulis
Sebagai seorang pemilih milenial, saya percaya bahwa masa depan politik Indonesia harus mengedepankan nilai-nilai keberlanjutan dan inovasi. Praktik pemasangan baliho mencerminkan politik masa lalu yang tidak relevan dan merugikan masyarakat serta lingkungan. Sudah waktunya bagi kita untuk mendukung kandidat yang tidak hanya berkomitmen pada program nyata, tetapi juga peduli pada ruang publik dan dampak ekologis. Bersama-sama, kita dapat mendorong politik Indonesia ke arah yang lebih modern dan bertanggung jawab.
Sumber:
1. Sindonews: Apakah Baliho Masih Relevan sebagai Strategi Kampanye?
2. Seremonia: Kontroversi Pemasangan Baliho Politik di Ruang Publik.