Minggu tenang menjelang Pilkada serentak sering kali berubah menjadi minggu sibuk bagi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Mereka terlibat dalam aksi membongkar alat peraga kampanye (APK) yang melanggar aturan atau dibiarkan terbengkalai. Ironisnya, meski regulasi melarang pemasangan APK di lokasi tertentu, praktik ini terus berulang setiap pemilu. Strategi pemasangan baliho, spanduk, atau bendera kini dianggap usang, tidak relevan, dan yang terburuk, menciptakan tumpukan sampah yang tidak ramah lingkungan.
Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), limbah plastik dan material dari APK seperti banner dan baliho menyumbang polusi tambahan pasca pemilu. Pakar lingkungan, Dr. Jatnika Nagara dari Universitas Indonesia, menyebut bahwa "material seperti vinil atau plastik yang digunakan untuk baliho tidak mudah terurai dan berpotensi menjadi ancaman lingkungan jangka panjang." Ia menambahkan bahwa penggunaan APK ini bertolak belakang dengan semangat pembangunan berkelanjutan yang sering dikampanyekan para kandidat.
---
Sudut Pandang Lintas Generasi
1. Generasi Z dan Milenial:
Generasi muda sangat kritis terhadap keberadaan baliho, melihatnya sebagai alat kampanye yang tidak hanya usang tetapi juga mencemari lingkungan. Alih-alih baliho, mereka lebih tertarik dengan kampanye berbasis digital melalui media sosial seperti TikTok, Instagram, atau diskusi langsung dalam komunitas.
2. Generasi X:
Generasi ini mulai mempertanyakan relevansi baliho, meskipun beberapa masih menerima kehadirannya sebagai alat pengenalan kandidat. Mereka lebih menghargai kampanye yang menawarkan interaksi personal.
3. Baby Boomers:
Kelompok ini cenderung mempertahankan nostalgia terhadap baliho sebagai simbol eksistensi politik. Namun, kesadaran akan dampak negatif, terutama dari perspektif lingkungan, mulai meningkat di beberapa kalangan.
---
Kritik Tajam terhadap Baliho
Sebagai generasi milenial, saya merasa jengah dengan praktik pemasangan baliho yang tidak bertanggung jawab. Tidak jarang, baliho dipasang sembarangan di pagar rumah warga atau lahan kosong tanpa izin, mencerminkan rendahnya penghormatan terhadap ruang publik. Pengalaman pribadi sering kali membawa saya harus berkonfrontasi dengan tim sukses, yang sayangnya jarang mengindahkan keluhan. Pada akhirnya, saya harus membongkar baliho tersebut sendiri, mencerminkan kegagalan fundamental dalam etika kampanye.