Sore hari ini seperti biasa di ruang kerja yang kecil ini, melakukan rutinitas membaca berita - berita terbaru. Salah satu berita yang menarik perhatian saya adalah pembahasan dari BPS mengenai turunnya jumlah kelas menengah sebesar 9,48 juta sejak 2019 hingga sekarang. Angka yang cukup besar untuk negara ini, negara yang sempat digadang - gadang perekonomiannya akan segera lepas landas. Dan ternyata sebelum sempat lepas landas tiba - tiba batal dan kembali ke landasannya lagi. Sungguh miris sekali.
Hari ini kita bisa melihat banyak sekali kebijakan - kebijakan tidak populis yang dilakukan oleh pemerintah pasca pandemi kemarin. Kenaikan tingkat suku bunga, kenaikan PPN hingga kurs yang fluktuatif serta pajak yang berubah hingga rencana - rencana seperti Tapera, pembatasan BBM bersubsidi berlanjut rencana menaikkan pajak kendaraan rasanya sungguh tak elok di tengah situasi ini. Masyarakat kelas menengah yang sehari - hari sudah dihimpit kebutuhan harian masih saja harus terhimpit kembali dengan rangkaian kebijakan - kebijakan ajaib ini. Di kala masyarakat kelas atas mendapatkan pengampunan pajak, kelas bawah mendapatkan bantuan sosial sedangkan kelas menengah hanya seperti sapi perah.Â
Nyatanya, sektor kelas menengah ini adalah sektor yang rentan untuk menuju jurang kemiskinan. Plt Kepala Badan Pusat Statistik, Amalia Adininggar Widyasanti membeberkan, alasan kelas menengah rentan jatuh ke jurang kemiskinan.
Untuk mengetahui alasan kelas menengah rentan tersebut bisa kita lihat dari modus pengeluaran penduduk kelas menengah, yang cenderung lebih dekat ke batas bawah pengelompokan dan semakin mendekati batas bawahnya.
Batas atas pengeluaran kelas menengah pada tahun 2024 mencapai Rp 9.909.844, sedangkan untuk kelas menengah ke bawah menjadi Rp 2.040.262. Jika dilihat, modus pengeluaran kelas menengah ini terus mendekati batas bawah pengelompokan bila dibandingkan dengan tahun 2014. Pada tahun 2024 sendiri untuk batas bawah pengeluaran kelas menengah mencapai Rp 1.708.900 sedangkan untuk batas atas pengeluaran kelas menengah Rp 5.146.495.
Jika dilihat pengeluaran batas bawah tersebut hampir mendekati 10 tahun yang lalu, sudah sewajarnya pemerintah tidak bisa berdiam diri dengan menggerogoti kantung kelas menengah secara terus menerus. Kebijakan - kebijakan tidak populis saya rasa perlu dipertimbangkan ulang. Dan perlu diingat juga, jangan sampai pemerintah hanya bisa menyalahkan masyarakat terkait turunnya daya beli. Beberapa kebijakan di lalu harus menjadi perhatian juga seperti misal UU Ciptaker nyatanya makin mempermudah perusahaan untuk memberhentikan karyawan, pembatasan usia juga membuat beberapa lapisan kelas menengah mengalami kesulitan dalam mengakses lapangan kerja.
Kelas menengah memang wajar jika resah beberapa tahun terakhir ini. Pasca pandemi, badai layoff/phk, beberapa kebijakan tidak populis nyatanya membuat yang sudah ruwet menjadi ruwet. Perlunya kebijakan yang berpihak pada semua kalangan nyatanya memang mampu membenahi keadaan ini, memang jika bicara untung rugi akan selalu ada saja alasan untuk rugi di awal. Namun jika kita memang berorientasi pada tujuan jangka panjang, kenapa tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H