Hujan deras mengguyur kota Malang sore itu. Rintik-rintik air menghantam jendela kamarku, menciptakan simfoni alam yang sendu. Di luar sana, hiruk pikuk kota seolah teredam, menyisakan kesunyian yang mencekam. Aku, Laras, duduk termenung di meja belajar, menatap kosong buku-buku tebal di hadapanku.
Bukan ini yang kuinginkan. Sejak kecil, aku bermimpi menjadi seorang pelukis, mengekspresikan segala emosi dan imajinasiku lewat goresan warna di atas kanvas. Aku membayangkan diriku menggelar pameran tunggal di gedung kesenian kota Malang, memamerkan karya-karyaku pada dunia, dan orang-orang berdecak kagum akan keindahannya.
Namun, kenyataan berkata lain. Aku terlahir di keluarga sederhana. Ayahku seorang guru SD, dan ibuku membuka warung kecil di depan rumah. Mereka bekerja keras demi menyekolahkan aku dan adikku. Kuliah di jurusan seni? Itu hanyalah mimpi di siang bolong.
"Laras, kamu anak pintar. Kamu harus jadi dokter, Nak. Angkat derajat keluarga kita," begitu kata Ayah saat aku lulus SMA. Aku hanya bisa tertunduk lesu. Bagaimana bisa aku menolak permintaan Ayah, satu-satunya orang yang rela membanting tulang demi masa depanku?
Akhirnya, aku menuruti keinginan Ayah. Aku kuliah di jurusan kedokteran Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, jurusan yang sama sekali tidak menarik minatku. Hari-hariku dipenuhi dengan anatomi tubuh manusia, nama-nama penyakit yang rumit, dan aroma obat-obatan yang menusuk hidung.
Aku merasa seperti burung yang terkurung dalam sangkar emas. Aku hidup berkecukupan, bahkan mungkin lebih dari cukup. Namun, jiwaku meronta, menuntut kebebasan untuk mengejar mimpiku.
Suatu hari, di tengah kepenatanku menghadapi ujian, aku bertemu dengan Raka, seorang seniman jalanan. Dia melukis mural di tembok-tembok kota, karyanya penuh warna dan makna, Â menghiasi sudut-sudut kota Malang. Raka mengajarkanku arti kebebasan berekspresi, arti dari sebuah karya seni yang lahir dari hati.
Perlahan, semangatku kembali menyala. Aku mulai melukis lagi di sela-sela kesibukan kuliah. Aku melukis di mana saja, di buku catatan, di kertas bekas laporan, bahkan di dinding kamarku. Â Lukisanku tak sempurna, tapi aku merasa bebas, merasa hidup.
Aku tahu, jalan yang kupilih tidak mudah. Menjadi dokter bukanlah impianku, tapi aku akan tetap menjalaninya dengan sungguh-sungguh, demi membalas jasa orang tuaku. Namun, aku juga tidak akan pernah berhenti melukis, karena melukis adalah jiwaku, adalah caraku untuk bernafas.
Mungkin suatu hari nanti, aku bisa meraih kedua impianku. Menjadi seorang dokter yang  berdedikasi, dan seorang pelukis yang karyanya menginspirasi banyak orang.  Hujan di luar sana semakin deras, namun hatiku terasa tenang. Aku tahu, badai pasti berlalu. Dan setelah badai reda, pelangi akan muncul, menyapaku dengan keindahan warnanya.