Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Hobi rebahan, cita-cita jadi sultan, tapi masih suka jajan cilok di pinggir jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hantu Kecil

12 Januari 2025   05:40 Diperbarui: 12 Januari 2025   05:37 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan deras mengguyur kota Jakarta, menciptakan simfoni berisik di atap kosan Rey. Di tengah kebisingan itu, Rey justru merasa hampa. Secangkir kopi yang mengepul di depannya tak mampu menghangatkan hatinya yang dingin. Ia merasa sendiri, terjebak dalam pusaran pikiran yang tak berujung.

Pikirannya melayang pada kejadian tadi siang. Presentasinya di kantor gagal total. Bukan karena materinya buruk, tapi karena Rey tiba-tiba diserang rasa cemas yang luar biasa. Lidahnya kelu, tangannya gemetar, keringat dingin membanjiri tubuhnya. Ia seperti kembali menjadi anak kecil yang ketakutan di depan kelas saat disuruh membaca puisi.

Rey menghela napas panjang. Ia benci perasaan ini. Rasa takut yang irasional, seolah ada hantu kecil yang selalu bersembunyi di sudut hatinya, siap menerkam kapan saja. Hantu kecil itu adalah inner child-nya, bagian diri Rey yang terluka dan tak pernah sembuh.

Rey ingat betul kejadian di masa kecil yang mungkin menjadi awal mula semua ini. Saat itu ia berusia tujuh tahun, bersemangat mengikuti lomba pidato. Ia sudah berlatih mati-matian, bahkan rela begadang menghafal teks pidato. Tapi saat tampil di depan umum, ia grogi setengah mati. Ucapannya terbata-bata, bahkan sempat lupa beberapa bagian.

Alih-alih mendapat dukungan, Rey justru ditertawakan oleh teman-temannya. Ia merasa malu, kecil, dan tidak berharga. Sejak saat itu, rasa takut untuk tampil di depan umum selalu menghantuinya.

"Kenapa sih gue nggak bisa kayak orang lain? Kenapa gue harus selalu takut?" gumam Rey frustasi.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dari Dinda, sahabatnya. "Rey, lo kenapa nggak ikut nongkrong tadi? Katanya mau cerita soal presentasi lo."

Rey terdiam sejenak. Ia sebenarnya ingin bercerita pada Dinda, tapi entah kenapa ia selalu ragu. Ia takut dianggap lemah, cengeng, atau bahkan ditertawakan.

Namun, kali ini Rey merasa berbeda. Ia lelah terus bersembunyi dari rasa takutnya. Ia ingin bebas, ingin sembuh. Dengan jari gemetar, ia mengetik pesan balasan untuk Dinda. "Din, gue butuh cerita. Boleh ketemu sekarang?"

Di sebuah kafe yang hangat dan nyaman, Rey akhirnya mencurahkan isi hatinya pada Dinda. Ia bercerita tentang kegagalan presentasinya, tentang hantu kecil yang selalu menghantuinya, tentang luka masa kecil yang tak kunjung sembuh.

Dinda mendengarkan dengan sabar. Sesekali ia mengangguk, memberikan senyuman hangat yang membuat Rey merasa diterima. Setelah Rey selesai bercerita, Dinda berkata, "Rey, lo nggak sendirian. Setiap orang punya inner child, punya luka masa lalu yang mungkin masih membekas. Tapi, bukan berarti kita harus terus terjebak di dalamnya."

Dinda kemudian bercerita tentang pengalamannya mengatasi rasa insecure. Ia juga pernah merasa kecil dan tidak berharga, tapi ia berhasil bangkit dengan belajar mencintai diri sendiri dan memaafkan masa lalunya.

"Rey, lo harus belajar menerima inner child lo. Rangkul dia, ajak dia bicara, dan yakinkan dia kalau sekarang lo sudah dewasa, lo sudah kuat, dan lo bisa melindungi dia," kata Dinda.

Kata-kata Dinda bagai cahaya yang menerangi kegelapan hati Rey. Ia merasa lega, beban yang selama ini ia pikul terasa lebih ringan. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada luka masa lalunya, hingga lupa bahwa ia punya kekuatan untuk menyembuhkan dirinya sendiri.

Malam itu, Rey pulang dengan hati yang lebih tenang. Hujan masih turun, tapi kali ini ia tak lagi merasa sendiri. Ia tahu, hantu kecil  itu masih ada di sana, tapi kini ia tak lagi takut. Ia akan merangkulnya, menenangkannya, dan bersama-sama melangkah menuju masa depan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun