Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Hobi rebahan, cita-cita jadi sultan, tapi masih suka jajan cilok di pinggir jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu

10 Januari 2025   06:40 Diperbarui: 10 Januari 2025   05:49 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu. Hanya satu kata itu yang terukir dalam hatiku, satu-satunya sosok yang selalu ada, bagai matahari yang tak pernah lelah menyinari bumi. Sejak kepergian Ayah lima tahun lalu, Ibu menjadi segalanya bagiku. Ia adalah matahariku, bulan purnamaku, bintang gemintangku, bahkan seluruh alam semesta yang kupunya.

Ibu tak pernah mengeluh, walau beban hidupnya terasa begitu berat. Setiap pagi buta, ia sudah sibuk di dapur, menyiapkan sarapan dan bekal sekolahku. Wangi nasi goreng dan suara gemericik air mendidih adalah alarm pagiku. Setelahnya, ia bergegas ke pasar untuk berjualan sayur.

"Nak, Ibu berangkat dulu ya. Belajar yang rajin, jangan nakal di sekolah," pesannya setiap pagi, sambil mengecup keningku. Aku hanya bisa mengangguk, menahan air mata yang mulai menggenang. Rasanya berat melihat Ibu bekerja keras seorang diri, sementara aku hanya bisa bersekolah.

Sepulang sekolah, aku selalu membantu Ibu di pasar. Kadang menata dagangan, kadang jadi kasir dadakan, atau sesekali mengantar pesanan ke rumah pelanggan. Pekerjaan itu memang melelahkan, tapi melihat senyum Ibu, semua lelah itu sirna. Senyumnya adalah penyemangat terbaikku.

"Alhamdulillah, hari ini dagangan Ibu laris. Nanti kita makan enak nak" ucapnya riang, sambil menghitung uang hasil penjualan. Aku hanya bisa tersenyum, ikut merasakan kebahagiaan Ibu. Bagiku, kebahagiaan Ibu adalah kebahagiaanku juga.

Malam hari, setelah semua pekerjaan selesai, Ibu selalu menyempatkan waktu untukku. Kami belajar bersama, membaca buku cerita, atau sekadar bercanda dan bercerita tentang kejadian di sekolah. Di saat-saat seperti itu, aku merasa begitu dekat dengan Ibu, merasakan kehangatan dan kasih sayangnya.

Ibu adalah sosok yang tegar, pekerja keras, dan penuh kasih sayang. Ia tak pernah menunjukkan kesedihannya di depanku, selalu berusaha kuat dan ceria. Ia mengajarkanku arti kehidupan, perjuangan, dan cinta yang sesungguhnya.

Aku tahu, Ibu melakukan semua ini demi aku, demi masa depanku. Ia ingin aku menjadi orang yang sukses, berguna bagi keluarga dan bangsa. Aku berjanji dalam hati, akan belajar dengan giat, meraih cita-cita, dan membahagiakan Ibu.

Suatu hari, saat aku pulang sekolah, aku melihat Ibu terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil. Hatiku teriris melihatnya. Aku segera memanggil tetangga untuk membantuku membawa Ibu ke rumah sakit.

Dokter bilang, Ibu kelelahan dan butuh istirahat total. Tapi, kondisi Ibu terus melemah. Setiap hari aku setia menunggui Ibu di rumah sakit, berharap keajaiban terjadi. Aku berdoa siang dan malam, memohon pada Tuhan agar Ibu diberi kesembuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun