Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Hobi rebahan, cita-cita jadi sultan, tapi masih suka jajan cilok di pinggir jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Buruk dan Medali Emas

10 Januari 2025   05:30 Diperbarui: 10 Januari 2025   05:37 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto Rara (www.pexels.com)

Alarm jam berdering nyaring, memaksaku membuka mata. Kulihat angka menunjukkan pukul 3 pagi . "Lagi-lagi mimpi buruk itu," gumamku sambil mengusap keringat di dahi. Mimpi yang sama terus menghantuiku sejak kegagalanku di Olimpiade Biologi Nasional tahun lalu. Bayangan soal-soal anatomi yang rumit, mikroskop yang buram, dan wajah kecewa Ibu seakan terpatri di pelupuk mata.

Aku, Rara, siswi kelas XII SMA, pernah menjadi bintang di sekolah. Juara kelas dan andalan tim olimpiade. Biologi adalah gairahku. Menjelajahi dunia mikroskopis, menguak rahasia DNA, menganalisis proses metabolisme tubuh... semuanya terasa menarik. Aku ingin sekali kuliah di jurusan kedokteran, meneliti obat-obatan baru, dan menyembuhkan banyak orang.

Namun, mimpi itu hancur lebur di babak final olimpiade. Aku gagal. Bukan hanya gagal meraih medali, tapi juga gagal memenuhi ekspektasi semua orang. Rasa malu, kecewa, dan putus asa menghantamku bak badai tsunami. Semangatku runtuh, nilaiku merosot, dan aku mulai menarik diri dari pergaulan. Dunia yang dulu terasa berwarna kini hanya abu-abu.

"Rara, sarapan dulu!" suara Ibu membuyarkan lamunanku. Aku hanya menggeleng lemah. Ibu menghela napas, "Mama tahu kamu masih sedih, tapi jangan terlalu dipikirkan. Bangkitlah sayang. Mama yakin kamu bisa."

Kata-kata Ibu bagai tamparan halus. Aku teringat betapa Ibu selalu mendukungku, mendampingiku belajar hingga larut malam, dan menyemangatiku di setiap kompetisi. Tak pernah sekalipun Ibu menyalahkanku. Mengapa aku justru menyerah?

Kubuka buku catatan biologi yang sudah lama terbengkalai. Di halaman pertama, terselip fotoku bersama tim olimpiade saat seleksi di tingkat provinsi. Kami tersenyum lebar, penuh semangat dan optimisme. "Rara yang dulu tidak akan menyerah!" bisikku pada diri sendiri.

Perlahan, kucoba bangkit. Kulangkahkan kaki ke perpustakaan, mencari referensi soal-soal olimpiade tahun-tahun sebelumnya. Kugali lagi materi-materi yang dulu membuatku kesulitan. Setiap malam, kuhabiskan waktu berjam-jam di laboratorium sekolah, mengamati preparat di bawah mikroskop, melakukan eksperimen sederhana, dan menganalisis data.

Tak mudah memang. Ada kalanya rasa malas dan putus asa kembali menyerang. Namun, kali ini aku punya senjata baru.  Tekad untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa aku pasti bisa. Tekad untuk membanggakan orang tuaku. Tekad untuk meraih kembali mimpiku.

Dukungan teman-teman dan guru juga menjadi penyemangat. Mereka tak henti memberiku motivasi, membantuku belajar, dan mengajakku kembali aktif mengikuti kegiatan sekolah. Tawa dan canda mereka perlahan mewarnai kembali hari-hariku.

Dan tibalah saatnya Olimpiade Biologi Nasional tahun ini. Aku berdiri di depan meja ujian, degup jantungku berpacu cepat. Namun, kali ini ada yang berbeda. Tak ada lagi rasa takut atau cemas. Yang ada hanyalah fokus dan keyakinan. Kujawab setiap soal dengan tenang dan teliti, menuangkan semua ilmu dan pengalaman yang telah kukumpulkan.

Pengumuman pemenang berlangsung menegangkan. Saat namaku disebut sebagai peraih medali emas, rasanya seperti mimpi. Air mata haru tak lagi bisa terbendung. Kulihat Ibu tersenyum bangga dari bangku penonton. Pelukan hangat Ibu adalah hadiah terindah yang pernah kuterima.

Kegagalan tahun lalu memang pahit, namun ia membantuku untuk bangkit lebih kuat. Aku belajar bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari sebuah perjalanan baru. Perjalanan untuk menjadi lebih baik, lebih tangguh, dan lebih bijaksana. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun