SMA Negeri 2 Jember, tempat gue menimba ilmu alias buang-buang waktu (menurut bokap), jadi saksi bisu kisah cinta gue yang (sok) puitis ini. Namanya Rona, cewek manis yang bikin gue mendadak rajin masuk sekolah. Bukan rajin belajar, tapi rajin mantengin dia dari pojok kelas. Maklum, posisi duduk gue strategis buat stalking doi secara diam-diam.
Rona itu... gimana ya jelasinnya? Kayak karya seni guys. Indah, bikin adem, tapi susah dipahami. Senyumnya itu lho, kayak sinar matahari pagi, bikin hati baper nggak jelas. Gue, Amerta si cowok cupu yang hobinya cuma ngegame dan baca komik, mendadak jadi pujangga dadakan gara-gara dia.
Setiap hari, rutinitas gue cuma satu: merhatiin Rona. Mulai dari caranya nyatet pelajaran (yang rapi banget kayak mesin ketik), sampai kebiasaannya mainin rambut pas lagi mikir. Saking seringnya merhatiin, gue sampai hafal semua tentang dia. Mulai dari warna kesukaannya (biru laut), makanan favoritnya (nasi goreng seafood), sampai merek sepatu yang sering dia pakai (nggak akan gue sebutin di sini, takut dikira stalker beneran!).
Pernah suatu hari, Rona nggak masuk sekolah. Rasanya dunia mendadak sepi kayak kuburan. Pelajaran Pak Bambang yang biasanya bikin ngantuk, hari itu terasa lebih menyiksa dari biasanya. Gue nggak bisa konsentrasi, pikiran gue melayang ke mana-mana. Jangan-jangan dia lagisakit? Atau jangan-jangan... Â Ah, sudahlah! Gue nggak mau mikir yang aneh-aneh.
Eh, tapi dasar jodoh emang nggak ke mana, pas pulang sekolah gue nggak sengaja ketemu Rona di halte bus. Dia lagi duduk sendirian sambil baca novel. Kesempatan emas nih! Dengan modal nekat dan doa restu dari seluruh penghuni kahyangan, gue samperin dia.
"Rona?" sapa gue dengan suara gemetar kayak lagi kebelet boker.
Dia nengok, "Eh, Amer. Hai."
"Sendirian aja?" tanya gue dengan gaya sok cool, padahal jantung udah mau copot.
"Iya, nih. Lagi nunggu bus," jawabnya sambil senyum.Â
Obrolan kami berlanjut, ngalor ngidul nggak jelas. Mulai dari bahas novel yang lagi dia baca, sampai curhat tentang guru killer di sekolah. Gue deg-degan parah, tapi di satu sisi seneng banget bisa ngobrol sama dia. Rasanya tuh kayak mimpi!
Sayangnya, kebahagiaan gue cuma sekejap. Bus yang ditunggu Rona akhirnya datang. Dia pun pamit sama gue.
"Gue duluan ya mer!"
"Eh, iya. Hati-hati," jawab gue.
Bus itu pun melaju, membawa serta Rona dan secercah harapan gue. Tapi, gue nggak nyerah. Mulai hari itu, gue bertekad buat lebih dekat sama Rona. Gue mulai sering nyapa dia di sekolah, pinjemin buku catatan, bahkan nawarin diri buat nemenin dia ke kantin.
Perlahan tapi pasti, gue ngerasa Rona mulai terbuka sama gue. Dia nggak sungkan lagi cerita tentang masalahnya, bahkan  curhat tentang gebetannya (tertawa tapi terluka).
Meskipun gebetannya bukan gue, gue tetep setia jadi pendengar yang baik. Siapa tahu kan, suatu saat nanti Rona bisa ngelihat gue lebih dari sekadar teman. Lagian, kata pepatah, "jodoh nggak akan ke mana." Semoga aja pepatah itu berlaku juga buat gue dan Rona.
Doain ya guys!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI