Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Hobi rebahan, cita-cita jadi sultan, tapi masih suka jajan cilok di pinggir jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jurnal Penelitianku

7 Januari 2025   05:00 Diperbarui: 7 Januari 2025   03:18 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aroma formalin mulai menusuk hidungku, bercampur dengan bau tanah basah yang merembes dari kebun botani di samping lab. Aku, mahasiswa biologi semester tua yang mulai akrab dengan bau-bauan khas ini, kembali berkutat dengan mikroskop tua kesayanganku. Lensa okulernya sudah agak buram, tapi tetap setia menemaniku menelusuri dunia mikroorganisme yang tak kasat mata.

Semester ini, dosen memberiku tugas akhir yang lumayan menantang: mengamati siklus hidup Physarum polycephalum, si jamur lendir yang punya "kecerdasan" luar biasa. Katanya sih, makhluk mungil ini bisa memecahkan labirin! Bayangkan, organisme tanpa otak bisa punya kemampuan navigasi sekeren itu.

Penasaran banget dong? Tapi yang namanya penelitian, mana ada yang instan. Berminggu-minggu aku habiskan di lab, mengamati si jamur lendir ini dengan penuh harap. Memberinya makan, mengawasi pergerakannya yang lambat, sampai mencatat setiap perubahan bentuknya dalam jurnal penelitian.

Hari demi hari, penantianku tak kunjung usai. Jamurku seperti enggan menunjukkan "kepintarannya". Ia hanya diam di cawan petri, membentuk pola-pola acak yang tak berarti. Kadang aku sampai gemas sendiri, "Ayolah, tunjukkan kehebatanmu!"

Saking frustasinya, aku hampir menyerah. Rasanya sia-sia berjam-jam di lab, berteman cairan formalin dan mikroskop tua, kalau hasilnya nihil begini.  Mungkin aku salah pilih objek penelitian? Atau jangan-jangan aku yang kurang telaten?

Di tengah kegalauan itu, Pak Andi, dosen pembimbingku, datang menghampiri. Beliau tersenyum melihatku yang kusut karena kurang tidur. "Kenapa, Nak? Kelihatan lesu sekali."

Aku pun curhat panjang lebar tentang penantianku yang tak berujung. Pak Andi mendengarkan dengan sabar, sesekali mengangguk-angguk. Setelah aku selesai, beliau berkata, "Penelitian itu memang butuh kesabaran ekstra. Kita tidak bisa memaksa alam untuk bekerja sesuai keinginan kita. Mikroorganisme itu punya ritmenya sendiri. Tugas kita adalah mengamati dan belajar darinya."

Kata-kata beliau seperti tamparan halus yang menyadarkanku. Selama ini aku terlalu fokus pada hasil, sampai lupa menikmati prosesnya. Aku lupa bahwa penelitian itu bukan hanya tentang menemukan jawaban, tapi juga tentang belajar menghargai misteri alam.

Aku pun kembali ke laboratorium dengan semangat baru. Kali ini, aku tak lagi terburu-buru. Aku menikmati setiap momen pengamatan, mencatat setiap detail kecil, dan mencoba memahami "bahasa" Physarum polycephalum yang unik.

Dan akhirnya, penantianku berbuah manis! Di minggu ketiga,  Physarum-ku mulai menunjukkan "kecerdasannya". Ia berhasil menemukan jalan keluar dari labirin sederhana yang kubuat di cawan petri!  Perasaan senang dan bangga bercampur aduk dalam hatiku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun