Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Hobi rebahan, cita-cita jadi sultan, tapi masih suka jajan cilok di pinggir jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Garis Paralel

5 Januari 2025   23:20 Diperbarui: 5 Januari 2025   21:23 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi suasana kafe oleh Afta Putta Gunawan (www.pexels.com)

Hujan rintik-rintik di luar sana seperti sedang mengiringi lagu sendu yang tak berlirik. Di dalam kafe yang remang ini, aku dan kamu duduk berhadapan, cangkir-cangkir kopi mengepulkan asap tipis yang memburamkan pandangan. Asap itu seperti masa depan kita; samar, tak jelas, dan entah akan berujung di mana.

Kamu tahu, sejak awal kita memang seperti dua garis paralel. Berjalan beriringan, sesekali berpapasan di titik-titik tertentu, namun tak pernah benar-benar menyatu. Aku, si pemimpi yang kakinya tak menapak bumi, dan kamu, si realis yang selalu berpijak pada logika.

Ingat kan, waktu itu kita berdebat sengit tentang arti kebahagiaan? Aku, dengan segala idealismeku, ngotot bilang bahagia itu tentang mengejar mimpi, sedangkan kamu, bersikukuh bahwa bahagia itu tentang hidup mapan dan berkecukupan. Ah, perdebatan klasik yang tak pernah menemukan titik temu. Seperti kita.

"Kamu pesan kopi yang sama?" tanyamu, memecah keheningan yang menyesakkan.

Aku tersenyum kecut. "Iya. Amerikano tanpa gula. Seperti biasa."

Kamu mengangguk, lalu menyeruput kopimu. Pahit, sama seperti kenyataan yang harus kita telan sekarang.

"Jadi...?" Kamu memulai, suaramu terdengar berat.

"Jadi...?" Aku mengulang pertanyaanmu, pura-pura tak mengerti. Padahal, hati ini sudah menjerit menebak arah pembicaraan kita.

Kamu menghela napas panjang. "Kita... harus berpisah, kan?"

Akhirnya. Kata-kata itu terucap juga. Rasanya seperti puluhan jarum menghantam dadaku. Sesak. Namun, anehnya, ada sedikit rasa lega juga. Seperti beban berat yang akhirnya terlepas dari pundak.

Kita memang harus berpisah. Ini jalan terbaik. Untukmu, dan untukku. Kita terlalu berbeda. Seperti langit dan bumi. Seperti air dan minyak. Memaksakan kebersamaan hanya akan melukai kita berdua.

"Iya," jawabku lirih, hampir tak terdengar.

Hening lagi. Hanya suara hujan dan denting sendok yang beradu dengan cangkir. Kamu menatapku, tatapan yang sulit kujelaskan. Ada kesedihan, ada kekecewaan, tapi ada juga kelegaan. Sama seperti yang kurasakan.

"Aku akan selalu mengingatmu," katamu, suaramu bergetar.

Aku tersenyum, "Aku juga."

Kita menghabiskan sisa kopi dalam diam. Setiap tegukan terasa pahit, menyisakan rasa getir yang menyesakkan. Tapi, mungkin beginilah seharusnya. Perpisahan memang selalu terasa pahit. Seperti kopi tanpa gula.

Setelah cangkir-cangkir kosong, kita pun beranjak. Berjalan keluar kafe, meninggalkan kenangan yang berserakan di meja. Hujan masih turun, membasahi jalanan kota. Kita berdiri berhadapan, di bawah payung yang berbeda.

"Jaga dirimu baik-baik," katamu.

"Kamu juga," jawabku.

Lalu, kita berbalik. Berjalan menjauh, menuju arah yang berbeda. Tanpa pamit. Tanpa pelukan. Hanya dua sosok yang hilang ditelan hujan.

Malam ini, kita resmi berpisah. Dua garis paralel yang akhirnya kembali ke jalurnya masing-masing. Mungkin suatu saat nanti kita akan bertemu lagi di persimpangan jalan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun