Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Hobi rebahan, cita-cita jadi sultan, tapi masih suka jajan cilok di pinggir jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rani dan Secangkir Kopi

4 Januari 2025   19:40 Diperbarui: 4 Januari 2025   19:38 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sambil menunggu ia menghabiskan makanannya, aku mengajaknya mengobrol. Namanya Rani. Ia datang bersama ibunya yang ikut berdemonstrasi. Tapi, entah bagaimana, ia terpisah dari ibunya di tengah keramaian.

Setelah Rani selesai makan, aku menggendongnya menyusuri jalanan, mencari ibunya. Demonstrasi sudah mulai bubar. Para demonstran berangsur-angsur meninggalkan lokasi. Akhirnya, kutemukan seorang perempuan paruh baya yang sedang panik mencari seseorang.

"Rani!" teriak perempuan itu saat melihat putrinya dalam gendonganku. Ia langsung memeluk Rani erat-erat.

"Terima kasih, Mas. Terima kasih banyak sudah menemukan anak saya," ucap perempuan itu sambil menangis haru.

"Sama-sama, Bu. Lain kali hati-hati ya. Jangan sampai terpisah lagi dari Rani," kataku.

Perempuan itu mengangguk. Ia kembali memeluk Rani, menciumi pipinya dengan penuh kasih sayang. Aku tersenyum melihat mereka. Ada rasa hangat yang menjalar di dadaku.

Malam itu, aku pulang dengan hati riang. Berita tentang demonstrasi buruh memang penting, tapi bagiku, menemukan Rani dan menyaksikan reuni mengharukan antara mereka itu jauh lebih berharga. 

Keesokan harinya, aku kembali ke lokasi demonstrasi. Aku ingin memastikan Rani dan ibunya baik-baik saja. Kutemukan mereka di sebuah rumah kontrakan sederhana. Rani menyambutku dengan senyum ceria. Ibunya menawariku segelas kopi hangat dan sepiring pisang goreng. Kami berbincang-bincang layaknya keluarga.

Sejak saat itu, aku sering mengunjungi Rani dan ibunya. Aku membantu mereka semampuku. Rani memanggilku "Kakak Wartawan". Ia sering bercerita tentang cita-citanya menjadi seorang dokter. Aku selalu menyemangatinya.

Rani, gadis kecil yang kutemukan di tengah kerumunan massa itu, telah menjadi bagian berharga dalam hidupku. Ia mengingatkanku bahwa di tengah hiruk pikuk dunia, masih ada kebaikan dan cinta yang tulus. Dan sebagai seorang wartawan, aku bertekad untuk terus menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan keadilan, demi masa depan anak-anak seperti Rani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun