Mohon tunggu...
Abdul Muis Ashidiqi
Abdul Muis Ashidiqi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Hobi rebahan, cita-cita jadi sultan, tapi masih suka jajan cilok di pinggir jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepucuk Surat untuk Ayah

2 Januari 2025   09:20 Diperbarui: 2 Januari 2025   08:39 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ayah dan anak oleh Pawel (www.pexels.com)

Ayah,

Ingatkah kau kala senja itu? Saat langit jingga memercikkan warna magisnya, kita duduk di beranda rumah kita yang sederhana. Kau, dengan gitar tua kesayanganmu, memetik melodi sendu yang entah bagaimana selalu berhasil menenangkan hatiku.

"Nak," katamu kala itu, suaramu serak namun menenangkan seperti derai hujan di antara pepohonan, "hidup ini seperti lagu. Ada nada tinggi, ada nada rendah, ada irama cepat, ada juga yang lambat. Semua harus dinikmati, dirasakan, dijalani."

Aku, yang masih kecil dan penuh mimpi, hanya mengangguk-angguk, tak sepenuhnya mengerti makna di balik kata-katamu. Kini, setelah kau tiada, setelah langit kehilangan warna jingganya, barulah ku mengerti.

Hidup memang seperti lagu, Ayah. Dan kepergianmu adalah nada paling sedih yang pernah kudengar, sebuah melodi pilu yang mengiris hati, meninggalkan luka yang tak kunjung sembuh.

Dulu, saat kau masih ada, tawa kita adalah irama riang yang mengisi rumah. Kau adalah matahariku, Ayah. Hangatmu menyelimuti, cahayamu menerangi setiap langkahku. Tapi kini, kau telah pergi, digantikan oleh langit kelabu.

Ayah, tahukah kau? Aku merindukanmu. Merindukan senyummu yang teduh, merindukan pelukanmu yang hangat, dan merindukan nasihat bijakmu yang sering kuabaikan.

Aku merindukan saat-saat kita bercanda, saat-saat kau mengajariku naik sepeda, saat-saat kau dengan sabar membantuku mengerjakan tugas yang sulit.

Aku merindukan semuanya, Ayah. Semuanya tentangmu.

Kini, yang tersisa hanyalah kenangan. Kenangan yang terukir indah di relung hatiku, seperti ukiran yang tak akan pernah hilang terkikis waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun