Ayah,
Ingatkah kau kala senja itu? Saat langit jingga memercikkan warna magisnya, kita duduk di beranda rumah kita yang sederhana. Kau, dengan gitar tua kesayanganmu, memetik melodi sendu yang entah bagaimana selalu berhasil menenangkan hatiku.
"Nak," katamu kala itu, suaramu serak namun menenangkan seperti derai hujan di antara pepohonan, "hidup ini seperti lagu. Ada nada tinggi, ada nada rendah, ada irama cepat, ada juga yang lambat. Semua harus dinikmati, dirasakan, dijalani."
Aku, yang masih kecil dan penuh mimpi, hanya mengangguk-angguk, tak sepenuhnya mengerti makna di balik kata-katamu. Kini, setelah kau tiada, setelah langit kehilangan warna jingganya, barulah ku mengerti.
Hidup memang seperti lagu, Ayah. Dan kepergianmu adalah nada paling sedih yang pernah kudengar, sebuah melodi pilu yang mengiris hati, meninggalkan luka yang tak kunjung sembuh.
Dulu, saat kau masih ada, tawa kita adalah irama riang yang mengisi rumah. Kau adalah matahariku, Ayah. Hangatmu menyelimuti, cahayamu menerangi setiap langkahku. Tapi kini, kau telah pergi, digantikan oleh langit kelabu.
Ayah, tahukah kau? Aku merindukanmu. Merindukan senyummu yang teduh, merindukan pelukanmu yang hangat, dan merindukan nasihat bijakmu yang sering kuabaikan.
Aku merindukan saat-saat kita bercanda, saat-saat kau mengajariku naik sepeda, saat-saat kau dengan sabar membantuku mengerjakan tugas yang sulit.
Aku merindukan semuanya, Ayah. Semuanya tentangmu.
Kini, yang tersisa hanyalah kenangan. Kenangan yang terukir indah di relung hatiku, seperti ukiran yang tak akan pernah hilang terkikis waktu.