Namaku Dara. Aku adalah remaja berusia 16 tahun yang pernah bermimpi menjadi seorang penulis terkenal. Kata-kata adalah sahabat terbaikku, tempatku bersembunyi dari dunia yang keras dan penuh tekanan. Tapi mimpi itu terasa semakin jauh, terkubur di balik bayang-bayang trauma yang menghantui hidupku.
Ibuku adalah seorang wanita yang luar biasa kuat dan tegas. Ia membesarkanku sendirian setelah ayah meninggal dalam kecelakaan mobil ketika aku masih kecil. Mungkin, rasa kehilangan itu yang membuatnya menjadi sangat protektif dan otoriter. Baginya, kesuksesan adalah satu-satunya jalan untuk menghargai pengorbanannya. Namun, caranya mendidikku seringkali terlalu keras, bahkan kejam.
Setiap hari, aku harus menjalani rutinitas yang ketat. Bangun pukul 5 pagi, belajar hingga tengah malam, dan tak ada waktu untuk bersantai. Setiap kesalahan kecil selalu diikuti dengan hukuman yang berat. "Kamu harus sempurna, Dara! Tidak ada ruang untuk kegagalan!" kata-katanya selalu terngiang di telingaku, bahkan sampai sering terbawa mimpi.
Hari itu, aku terlambat pulang dari sekolah karena harus mengerjakan tugas kelompok. Sesampainya di rumah, ibu sudah menunggu di depan pintu dengan ekspresi marah. "Kamu tahu aturannya Dara! Tidak boleh ada alasan untuk pulang terlambat!" sergahnya.
Aku mencoba menjelaskan, tapi suara ibu semakin keras, menyalahkan, dan penuh amarah. Tak tahan lagi, aku berlari ke kamarku, menangis dalam kesunyian. Di balik pintu yang terkunci, aku merasakan sakit yang teramat dalam, bukan hanya fisik, tapi juga mental. Setiap kata yang diucapkan ibu seperti pisau yang mengiris hatiku.
Hari-hari berlalu, dan trauma itu semakin memburuk. Aku mulai merasa takut setiap kali mendengar langkah kaki ibu mendekat. Setiap suara pintu yang terbuka membuatku merinding. Aku menjadi terisolasi, menjauh dari teman-teman, dan menarik diri dari dunia luar.
Satu-satunya pelarian adalah menulis. Setiap malam, ketika ibu sudah tidur, aku menyalakan lampu meja kecil di sudut kamarku dan mulai menulis. Di atas kertas, aku menemukan kebebasan yang selama ini hilang. Aku menulis tentang dunia yang berbeda, di mana tidak ada ketakutan, tidak ada rasa sakit, hanya kedamaian dan kebahagiaan.
Suatu malam, ibu memergokiku sedang menulis. Ia marah besar, merobek kertas-kertas yang penuh dengan impianku. "Menulis tidak akan membuatmu sukses, Dara! Itu hanya membuang-buang waktu!" teriaknya.
Hatiku hancur, tapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus menemukan cara untuk keluar dari bayang-bayang ini, untuk meraih kebebasan yang sejati. Dengan tekad yang kuat, aku mulai mencari bantuan.
Aku berbicara dengan guru bimbingan di sekolah, yang kemudian menghubungkanku dengan seorang konselor. Perlahan tapi pasti, aku mulai membuka diri, menceritakan semua rasa sakit dan ketakutan yang selama ini kupendam. Konselor itu mengajarkanku cara untuk menghadapi trauma, dan memberiku kekuatan untuk berbicara dengan ibu.