Di sebuah sekolah dasar pinggiran kota Jakarta, hidup seorang anak laki-laki bernama Dika. Dika memiliki sifat ceria dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Namun, di balik keceriaannya, ada sisi yang kurang baik, dimana ia suka menggoda teman-temannya yang berbeda atau lemah.
Salah satu teman yang sering menjadi korban ejekan Dika adalah Maya. Maya memiliki keterbatasan dalam berbicara akibat kelainan yang dialaminya sejak lahir. Setiap kali Maya berbicara, kadang suaranya tercekat atau kata-katanya terputus-putus. Dika dan teman-temannya sering mengejeknya, membuat Maya merasa malu dan terisolasi.
Suatu hari, kejadian yang mengubah hidup mereka terjadi. Dika dan teman-temannya sedang bercanda di lorong sekolah ketika Maya lewat. Mereka mulai mengejeknya lagi, tetapi kali ini, Maya terisak di hadapan mereka. Air matanya mengalir, dan Dika bisa merasakan perasaan bersalah merayap ke dalam hatinya. Namun, ia takut untuk mengakui kesalahannya di depan teman-temannya.
Waktu berlalu. Dika sekarang sudah mulai dewasa. Ia sering teringat masa lalunya dan bagaimana ia dulu memperlakukan Maya. Setiap kali ia melihat orang-orang dengan keterbatasan atau orang yang diolok-olok, ia merasa sesak. Dika ingin berubah, ia ingin menebus kesalahan masa lalunya.
Suatu hari, Dika membaca tentang sebuah organisasi lokal yang mendukung pendidikan dan pekerjaan bagi orang-orang dengan disabilitas. Ia merasa ini adalah kesempatan baginya untuk memperbaiki apa yang telah ia lakukan di masa lalu. Dengan ragu-ragu, Dika mengunjungi organisasi tersebut dan bertanya apakah ada kesempatan untuk menjadi relawan.
Setelah menjalani beberapa tahap seleksi dan pelatihan, Dika diterima sebagai relawan. Tugas pertamanya adalah membantu pelatihan komputer bagi anak-anak dengan disabilitas. Di sana, ia bertemu dengan beberapa anak yang mengingatkannya pada Maya. Mereka begitu antusias dan penuh semangat belajar meskipun dengan segala keterbatasan yang mereka miliki.
Suatu hari, ketika sedang membimbing salah satu anak di program tersebut, Dika bertemu dengan seorang ibu yang sedang menunggu anaknya selesai. Ibu itu memperhatikan Dika dengan cermat dan akhirnya bertanya, "Nak, apakah kamu pernah memiliki pengalaman dengan anak-anak seperti mereka sebelumnya?"
Dika terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan itu. Kemudian, ia memutuskan untuk menceritakan kisahnya dengan jujur. Ia mengaku bahwa dulu ia pernah menjadi bagian dari mereka yang mengejek anak-anak dengan keterbatasan. Ibu itu mendengarkan dengan penuh perhatian.
Setelah mendengar cerita Dika, ibu itu tersenyum lembut. "Kamu sudah melakukan langkah pertama untuk menebus kesalahan dengan menjadi relawan di sini" Kata-kata itu menggetarkan hati Dika. Ia merasa lega, tapi juga sadar bahwa perjalanan ini masih panjang.
Dalam beberapa bulan berikutnya, Dika terus aktif sebagai relawan. Ia belajar banyak hal dari anak-anak dengan keterbatasan ini, mulai dari ketabahan, kegigihan, dan kebahagiaan. Setiap hari, ia merasa lebih dekat dengan penebusan dosanya sendiri.
Suatu hari, ketika sedang mengajar, ia mendengar suara yang tidak asing baginya. Ia menoleh dan terkejut melihat Maya, teman lamanya yang dulu pernah ia ejek. Maya tersenyum kepadanya dengan hangat. Dika menghampirinya dengan ragu.
"M-maafkan aku, Maya, atas semua yang dulu pernah aku lakukan," ucap Dika dengan lirih.
Maya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Dika, aku tahu kamu telah berubah. Aku bangga melihatmu di sini, melakukan hal-hal baik untuk orang lain."
Dika merasa hatinya berdegup kencang. Ini adalah momen penebusan yang ia tunggu-tunggu. Ia dan Maya mulai berbicara lagi, kali ini dalam suasana yang jauh lebih hangat dan saling menghormati.
Cerita tentang Dika menyebar di antara anak-anak dan orang tua di program tersebut. Ia menjadi contoh nyata bahwa setiap orang bisa berubah dan belajar dari kesalahannya. Kehidupannya berubah menjadi lebih bermakna karena ia tidak hanya mengubah dirinya sendiri, tetapi juga berkontribusi positif bagi masyarakat di sekitarnya.
Dika belajar bahwa penebusan dosa bukanlah tentang menghapus masa lalu, tetapi tentang membangun masa depan yang lebih baik dengan tindakan nyata dan keikhlasan hati. Ia juga belajar tentang pentingnya komunikasi, empati, dan penerimaan terhadap orang lain. Dan di balik semua tantangan yang ia hadapi, Dika menemukan bahwa memaafkan diri sendiri adalah langkah pertama yang penting dalam perjalanan hidupnya.
Di suatu sore yang asri, Dika duduk di tepi danau dekat rumahnya. Ia melihat gemerlap matahari terbenam, merenungkan perjalanan hidupnya yang penuh warna. Melalui perubahan yang ia lakukan, ia menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri. Dan dari jauh, ia bisa mendengar suara Maya kecil yang mengatakan, "Terima kasih, Dika."
Syarat
Datang, Diskusi, dan Bacakan Karyamu di Kongkow Fiksi Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H