Mohon tunggu...
Wibowo Anggoro
Wibowo Anggoro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Penyuapan dan Gratifikasi

24 Mei 2016   12:25 Diperbarui: 4 April 2017   17:49 5440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam bahasa sehari-hari, menyuap bisa diartikan sebagai membeli hak atau kewenangan seseorang yang berkuasa dengan tujuan agar tersuap melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hak atau kewenangannya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri memang tidak menggunakan istilah penyuapan.

Namun dari beberapa pasalnya, kita bisa menafsirkan bahwa KUHP membedakan dua jenis penyuapan, yaitu penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Penyuapan aktif diatur dalam pasal 209 dan 210 KUHP, sedangkan penyuapan pasif diatur dalam pasal 418, 419 dan 420 KUHP.

 Ketentuan pasal 418 hanya menyebutkan bahwa seorang pegawai negeri yang menerima suatu pemberian atau janji, sedang diketahuinya atau patut harus menduga bahwa hal itu diberikan ditujukan kepada kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut maksud si pemberi ada hubungannya dengan jabatan tersebut, diancam dengan pidana penjara maksimum enam bulan atau denda maksimum tiga ratus rupiah.

Dari pasal 418 ini bisa kita lihat bahwa subyek adalah pegawai negeri. Dari bentuk kesalahannya harus dibedakan, untuk perbuatannya itu sendiri dan untuk apa si pemberi itu memberikan pemberian itu. Untuk perbuatan itu sendiri, bentuk kesalahannya adalah dengan sengaja yaitu, ia sadar bahwa ia menerima suatu pemberian atau janji. Untuk unsur selanjutnya, ada dua kemungkinan bentuk kesalahan yaitu dengan sengaja (sedang diketahui) atau culpa-lata (patut harus diduga). 

Sedangkan, penyuapan dikenal pada pasal 12 huruf a UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dikatakan sebagai "pemberian suap". Pasal 12 huruf a itu penerima suap bisa pidana penjara seumur hidup atau 4 hingga 20 tahun penjara dan Rp 200 juta hinggfa Rp 1 miliar

Pada bagian penjelasan pasal 12 huruf a ini dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "pemberian" dalam ayat ini diartikan luas, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah "gratification" yang meliputi pemberian berupa uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lain.

 Pemberian yang dimaksud adalah pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya baik sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Mengenai perbuatan memberi suap atau menerima suap, kapan diterapkan pasal KUHP dan kapan dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, haruslah terjawab apakah ada hubungannya dengan kerugian yang sangat bagi keuangan dan perekonomian negara yang pada akhirnya menghambat pembangunan nasional. Kalau dipandang perbuatan suapnya merugikan keuangan atau perekonomian negara, maka pelakunya bisa dikenakan pasal-pasal mengenai tindak pidana korupsi.

Dari dua tafsiran di atas jelas bahwa ada keterkaitan antara pemberi suap dengan penerima atau pemberi gratifikasi dengan penerima gratifikasi dimana penerima suap atau gratifikasi adalah penyelenggara negara. Namun bagaimana jika kasus penyuapan dan gratifikasi hanya ada niat dan tidak ada orang yang ingin disuap.

Kita bisa mengambil contoh kasus dua oknum di PT Abipraya yang ditangkap KPK karena ingin menyuap jaksa di Kejati DKI untuk menghentikan kasus yang sedang berjalan di korps Adhyaksa tersebut. Dua oknum tersebut adalah Direktur Keuangan Sudi Wantoko dan GM Pemasaran Dandung Pamularno yang kini keduanya sudah dipecat dari Abipraya. Mereka berdua ditangkap bersama seseorang bernama Marudut yang diduga sebagai perantara antara Sudi dengan oknum jaksa di Kejati DKI. Namun hingga saat ini KPK belum menetapkan oknum jaksa yang disebut-sebut akan menerima suap dari Sudi Wantoko.

Para ahli hukum mendesak KPK agar segera menetpkan oknum jaksa menjadi tersangka karena jika ingin menjerat Sudi, Dandung, dan Marudut maka kesaksian penerima suap sangat diperlukan. Sebab, jika melihat pasal di baik di KUHP dan UU Tipikor untuk membuktikan niat jahat atau percobaan penyuapan akan menjadi sulit. Meskipun KPK sepertinya sudah memiliki rekaman suara percakapan lewat telepon namun rekaman suara tidak bisa dijadikan alat bukti di pengadilan karena hanya menjadi petunjuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun