Yang menjadi pertanyaan, apakah prosedur rapid tes lebih didahulukan daripada keadaan genting keselamatan nyawa pasien? Seperti kita ketahui, dengan asumsi paling cepat, setidaknya butuh waktu 30 menit untuk bisa mendapatkan hasil rapid tes. Dalam rentang waktu ini, segala kemungkinan bisa terjadi.
Seandainya ternyata pasien terlambat ditangani dan akhirnya tidak bisa diselamatkan nyawanya, namun di sisi lain ternyata hasil rapid tes atau swab negatif, bukankah ini menjadi kesalahan tim medis?
Hanya karena dugaan Covid19 yang belum jelas mampu mengalahkan keadaan genting pasien. Bisa dipahami bahwa petugas medis hanya mencoba mentaati peraturan bahwa semua pasien harus melalui rapid tes atau swab tes terlebih dahulu sebelum dilakukan tindakan. Tetapi setidaknya dalam kasus seperti Ariani tersebut juga bisa jadi malah menyalahi etika profesi dokter dan tenaga medis.
Ini perlu menjadi pertimbangan bagi pemangku kebijakan di lingkungan kesehatan. Aturan atau protokol kesehatan di RS seharusnya bisa lebih fleksibel menyesuaikan kondisi di lapangan, khususnya perlu memperhatikan kasus pasien yang dihadapinya. Lebih penting mana antara rapid tes dengan keselamatan nyawa pasien yang sudah terlihat di depan mata?
Tidak bisakah selamatkan dulu nyawa pasien sambil melakukan isolasi dengan prosedur menganggap sebagai pasien yang positif Covid19? Toh tenaga medis sudah dibekali APD lengkap. Setelah melakukan penanganan pertama, barulah menyusul dilakukan rapid tes maupun swab tes. Kalaupun hasil swab positif, toh sudah dilakukan isolasi dan penanganannya standar protokol covid19.
Dengan demikian, jangan sampai ada lagi kasus-kasus pasien tidak tertolong atau terlambat tertolong hanya karena menunggu rapid tes.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H