Oleh: Bambang Wibiono
_
Informasi tertulis menjadi sumber primer bagi penelusuran fakta, terutama tetang sejarah. Maka pelacakan jejak-jejak sejarah tidak akan jauh dari seputar manuskrip, artefak, prasasti. Bukan dari cerita-cerita yang cenderung akan dianggap dongeng dan mitos.
Simpang siurnya mengenai sejarah dan genealogi sebuah bangsa menjadi kendala untuk mengetahui dan mengenal identitas dan jati diri, baik itu sebagai wilayah, entitas budaya, tradisi, ataupun sebagai komunitas masyarakatnya. Kuatnya tradisi tutur/lisan (folklor) pada masyarakat Indonesia ketimbang tradisi tulis, turut membuat kabur dari cerita sebenarnya.
Seorang sejarawan, Taufik Abdullah, mengamini hal ini. Bangsa kita tidak memiliki tradisi mencatat, yang ada adalah tradisi mengingat. Berbeda dengan Belanda yang selalu mencatat apa yang terjadi, kemudian menyimpannya dengan rapih.
Tidak juga seperti bangsa Mongol atau Cina yang sejak dahulu sudah begitu memegang kuat tradisi tulis, membuat begitu banyak catatan sejarah peradaban bangsa tersebut dalam bentuk manuskrip. Tak sulit untuk kita menelusuri sejarah, peristiwa, kisah ribuan tahun lalu sekalipun karena terlalu banyak naskah-naskah yang tersimpan, mulai dari yang ditulis di atas potongan kayu, kulit kayu, kulit hewan, daun, sampai kertas.
Kisruhnya mengenai suksesi tahta Kesultanan Kasepuhan Cirebon baru-baru ini pun menghadapi kendala serupa. Ada sejarah peteng (gelap) yang melingkupi seputar perjalanan Cirebon maupun kesultanannya.
Tengok saja masih banyak ketidaksamaan cerita mengenai lahirnya Cirebon, perdebatan nama tokoh, sejarah tempat, nama tempat, waktu peristiwa, bahkan soal anak keturunan dari para bangsawan pun tidak jarang mengalami kegaduhan klaim. Ini diperparah dengan hadirnya penjajahan Belanda yang bisa sangat pasti turut mereproduksi cerita, informasi, dan pengetahuan demi kepentingan ekonomi politik.
Mari kita tengok juga, catatan-catatan sejarah tentang Cirebon justru lebih banyak berkiblat pada catatan para orientalis Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis.
Sebut saja misalnya catatan perjalanan yang ditulis Tome Pires yang berkebangsaan Portugis dengan karya besarnya, Suma Oriental (1512-1515) yang selalu menjadi rujukan atau referensi mengenai sejarah Indonesia masa lalu, dan khususnya sejarah Cirebon, Thomas Stamford Raffles dari Inggris dengan History of Java-nya.
Juga tak ketinggalan catatan harian VOC maupun Pemerintah Hindia Belanda yang biasa disebut Dagh Register Anno. Sangat kesulitan untuk menemukan sumber yang otentik dari catatan bangsa kita sendiri. Kalaupun ada, tidak banyak menjelaskan berbagai aspek dan cenderung bersumber dari satu kalangan.
Monopoli Pengetahuan