Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kita Sempurna

22 Juni 2020   13:45 Diperbarui: 22 Juni 2020   14:29 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Entah kenapa tiba-tiba terlitas begitu saja pikiran tentang kesempurnaan manusia. Saat mengendarai motor waktu pulang kantor, seketika muncul pikiran bahwa kita adalah sempurna.

Teringat beberapa dalil di Al-Qur'an yang dalam terjemahan bebasnya begini,

"seandainya AKU mau, maka AKU ciptakan saja kalian satu. Tapi Aku ciptakan kalian dalam bentuk yang sempurna, berbangsa-bangsa, bersuku-suku agar kalian saling mengenal dan mendapat pelajaran dari penciptaan. Itu semua sebagai tanda ke-Maha Kuasaan-Ku."

Sebenarnya pendapat ini sudah sering diucapkan pada khotbah-khotbah di masjid, di sekolah, di acara pengajian, atau acara keagamaan lainnya. Tetapi, saat menemukan sendiri pemahaman itu, entahlah, rasanya berbeda.

Sempurna dan Tidak, Kita Sendiri yang Membuat

Sering kita sebagai manusia merasa kurang, tak sempurna, terlahir cacat, kehidupannya sulit terus, dan rasa kurang lainnya. Kalau kita mau sedikit merenung, yang menciptakan ketidaksempurnaan, ketidakberdayaan, kekurangan, cacat, berbeda dengan yang lain, itu adalah kita sendiri. Jelas-jelas Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna. 

Kitalah yang merasa rendah diri, mengeluh dan tidak bersyukur. Kita yang memperbandingkan diri kita sendiri dengan orang lain dengan ukuran-ukuran yang kita buat sendiri. 

Padahal memperbandingkan kita dengan yang lain itu tak perlu. Sebab kita diciptakan berbeda dengan yang lain. Karena memang Allah menciptakan berbeda satu dengan yang lainnya, jadi untuk apa dibandingkan?

Itulah yang membuat kita menjadi kerdil dengan mengkotak-kotakan diri kita sendiri, menjadi sempit. Kita membandingkan fisik kita yang hitam tidak rupawan dengan orang lain yang lebih putih dan rupawan. 

Kita membandingkan diri kita yang cacat hanya punya satu lengan dengan orang lain yang berlengan lengkap. Kita membandingkan tubuh kita yang pendek dibanding yang lain. Lebih parahnya lagi sampai kita membandingkan kehidupan kita yang tak seberuntung orang lain. Siapa yang menyuruh kita membanding-bandingkan hal semacam itu?? 

Kita itu berbeda. Bahkan yang kembar identik pun tidak sama persis. Allah pun tidak melihat fisik kita, tidak menilai kesusahan atau kesenangan hidup kita di dunia. Yang dinilai Allah adalah iman kita dan ketakwaan kita. Seberapa percaya kita pada Allah yang menciptakan kita sebagai mahluk sempurna? 

Seberapa percaya kita pada Allah hingga kita terus bersyukur? Mungkin itulah mengapa, ajaran agama apapun, bahkan dalam tradisi norma sosial, bersyukur itu dianjurkan. Tak lain adalah agar kita bisa memaknai kesempurnaan yg kita miliki tanpa harus silau dengan "kesempurnaan" orang lain, dan juga agar kita tak sombong. Kita diciptakan berbeda dan sesuai dengan kegunaannya.

"Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya", itulah nasihat kitab suci terhadap orang yg sedang merasa sempit. Allah pun tak pernah memerintahkan diluar batas kita. 

Mari ambil contoh, perintah solat adalah wajib dengan cara berdiri, ruku, sujud sesuai rukunnya. Tetapi Allah tidak mewajibkan orang untuk solat berdiri jika memang tidak mampu berdiri. Orang yg diciptakan berbeda, tidak memiliki tangan misalnya, tentu akan kesulitan untuk melakukan gerakan ruku. Maka gerakan-gerakan baku, seperti ruku dalam solat pun menjadi tidak berlaku. 

Orang yang diberikan kelebihan harta dianjurkan untuk berkurban seekor kambing, sapi dan sebagainya. Tapi bagi yang belum mampu, Allah hanya memerintahkan sedekah dengan kemampuan masing-masing. Artinya, masing-masing kita ini memang berbeda dan tak bisa dipersamakan antara satu dengan lainnya.

Dalam pandangan Allah, kita semua ini sama. Dan itu artinya kita tidak perlu risau dengan "perbedaan".  Lakum diinukum waliyadin. Dalam terjemahan fleksibel juga mungkin bisa diartikan "yang Allah berikan padaku, inilah aku dan yang Allah berikan padamu, itulah kamu. Tidak perlu kita sama-samakan, tak perlu kita beda-bedakan. Kita jalani kehidupan sesuai porsi, fungsi dan peran kita masing-masing".

Layaknya anggota tubuh kita yang masing-masing sudah pada porsinya dan sesuai dengan tugas fungsinya. Jempol tak perlu merasa iri karena "kecacatannya" dibanding jari telunjuk yang ukurannya lebih proporsional dan lebih panjang. 

Kaki tak perlu merasa kecewa dan rendah diri karena posisinya dibawah dan harus selalu jadi yang terdepan saat menginjak sesuatu yang kotor. Tak perlu menganggap tak adil dibandingkan dengan tangan yang kedudukannya lebih "terhormat", berada di atas, memakai perhiasan dan menjadi perantara orang bersedekah memberikan sesuatu untuk orang lain. 

Dubur tak perlu iri dan protes karena hanya menjadi tempat buangan hal-hal kotor dan najis, ketimbang mulut yang selalu kebagian menerima asupan yang enak-enak dan baik-baik. Kalau seandainya anggota tubuh ini berpikir seperti kita yg cenderung tak bersyukur, tentu mereka pun akan berpikir dan berkata bahwa Tuhan tak adil dalam menciptakan.

Kita Satu dalam Ikatan Semesta

Sadarlah wahai mahluk sempurna. Secara hakekat, kita ini satu dalam ikatan semesta. Tugas kita adalah bersyukur dan menjalankan peran kita masing-masing layaknya anggota tubuh yang saling melengkapi, saling bantu dan ikhlas menjalankan amanahnya. 

"Cacat" dan tidak cacat, susah senang, beruntung tidak beruntung, kaya miskin, pintar bodoh, jelek rupawan, semua Allah amanahkan pada kita bukan untuk dibedakan, bukan untuk diperdebatkan, bukan untuk jadi bahan saling iri, tapi untuk kita laksanakan perintah Allah sesuai peran dan kapasitas masing-masing. Allah pasti melebihkan hal lain atas kekurangan kita dan tentu mengurangi sesuatu atas kelebihan kita. 

Semua diciptakan seimbang dengan teliti dan sempurna. Tak ada yg dirugikan sedikitpun atas penciptaan diri kita. Karena kita berasal dari ketiadaan, maka adanya kita di dunia ini adalah karena kemurahan Allah. Diciptakannya kita ke dunia adalah sudah menjadi sesuatu yang luar biasa dan patut kita berterima kasih. Maha Sempurna Allah atas segala sesuatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun