Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pudarnya Pesona Indonesia Maju

20 Juni 2020   08:52 Diperbarui: 20 Juni 2020   08:47 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Bambang Wibiono
_

Era kepemimpinan pemerintahan Jokowi jilid II ini menghadapi gelombang ujian. Sebenarnya, sejak awal mula Jokowi memimpin bahtera Indonesia ini, gelombang itu selalu datang bertubi. Penyebab awalnya adalah karena memang sosok pribadi Jokowi adalah sosok pemimpin Indonesia yang boleh dibilang antimainstream. Ia datang dengan wajah yang berbeda dan dengan citra yang berbeda dari presiden-presiden Indonesia sebelumnya.

Banyak yang sangat ragu dengan kemampuannya pada waktu itu, namun ternyata ia mampu bertahan dan membantah keraguan itu dengan tindakan. Terlepas dari polemik mengenai pencitraannya, perdebatan antara pendukung dan pembencinya di tataran bawah, secara statistik, dukungan dan simpati dari masyarakat cenderung meningkat. Terbukti, pada Pilpres tahun lalu, Jokowi kembali memenangkannya. Artinya ia dipercaya memimpin pada periode kedua ini.

Meningkatnya Partisipasi Politik

Tampilnya sosok presiden antimainstream ini pun mampu membawa konstelasi politik yang selalu hangat sampai pada level grassroot. Setelah berpuluh tahun masa orde baru, bangsa ini terbiasa dengan kebisuannya dalam hal politik, dan bahkan beberapa kepemimpinan era reformasi sebelumnya pun belum mampu membuat geliat partisipasi politik yang signifikan.

Berdasarkan data KPU, angka partisipasi pemilih justru mengalami tren menurun tajam sejak 1999-2009. Tahun 1999, angka partisipasi pemilu kita ada di kisaran 90 persen, kemudian pada tahun 2004 sekitar 84 persen, di pemilu 2009 tinggal sekitar 70 persen partisipasinya. 

Padahal ini adalah masa awal peralihan dari orde baru ke reformasi yang seharusnya mampu mengerek partisipasi politik lewat pemilu, ternyata gagal. Sedangkan tingkat golput pada Pilpres sejak 2004 hingga 2014 pun memperlihatkan peningkatan, mulai dari 23,30% pada tahun 2004, 27,45% pada tahun 2009, dan 30,42% pada Pilpres 2014. Artinya, partisipasi juga menurun.

Trend partisipasi politik mulai meningkat cukup signifikan adalah saat Jokowi memimpin. Salah satu indikatornya adalah obrolan-obrolan dengan topik politik pemerintahan menghiasi di banyak tempat, tidak hanya di kampus-kampus atau gedung dewan. Tetapi juga merambah sampai ke warung-warung kopi, pasar, jalanan, bahkan sampai ke meja-meja makan di rumah-rumah, nyaris semua level masyarakat. Orang-orang tidak lagi menganggap tabu menggunjing soal negara, mendukung pemerintah maupun ketidaksetujuannya dengan rejim. Terlebih jika melihat di media sosial, bertebaran perdebatan di kolom-kolom komentar, postingan-postingan status media sosial, maupun grup-grup chating.

Walaupun sebatas obrolan-obrolan, perdebatan-perdebatan, setidaknya ini adalah bentuk partisipasi politik dalam hal menyuarakan aspirasi, pendapat, tuntutan, dan dukungan. Kita tidak lagi bersikap apatis terhadap kondisi negara atau politik. 

Sebagaimana teori sistem politik yang pernah dikemukakan David Easton (1953) dalam bukunya: The Political System, salah satu kunci berjalannya sebuah sistem politik adalah adanya input berupa tuntutan dan dukungan terhadap sistem politik yang dalam hal ini adalah pemerintahan dan produk-produk pemerintahan yang menyertainya. Dan ini juga sebagai variabel kunci bagi demokrasi. Tanpa ada partisipasi dari warga negaranya, demokrasi hanya sebatas formalitas melalui mekanisme Pemilu.

Rupanya era pemerintahan Jokowi mampu menjaga atmosfir ini. Walaupun sarat dengan anggapan pencitraan, namun iklim perdebatan pada level 'masyarakat biasa' atau akar rumput selalu terjadi. Hal ini didukung juga dengan kemajuan era digital atau era perkembangan teknologi komunikasi yang memungkinkan warga masyarakat menyuarakan unek-uneknya dari sudut-sudut negeri ini, di manapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun