Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pudarnya Pesona Indonesia Maju

20 Juni 2020   08:52 Diperbarui: 20 Juni 2020   08:47 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus pertama, saat awal muncul kasus Covid19, Pemerintah Provinsi DKI membuat inisiatif langkah preventif, di antaranya meliburkan sekolah, menghimbau untuk menutup tempat usaha atau kantor-kantor, serta membatasi atau mengurangi jumlah moda transportasi masal. Mungkin tujuannya, saat angkutan masal dikurangi, dengan sendirinya himbauan tentang mengurangi aktivitas publik bisa berjalan. Pada akhirnya bisa menghambat laju penularan virus. 

Namun yang terjadi, karena sifatnya hanya himbauan tanpa ada penjelasan, aktivitas perkantoran atau publik tetap berjalan normal. Akhirnya justru terjadi penumpukan jumlah penumpang dan semakin berjubel penuh sesak. Pada saat bersamaan, pemerintah pusat menyindir bahwa langkah ini tanpa persetujuan dan koordinasi dengan pemerintah pusat. Akhirnya kebijakan pembatasan moda transportasi masal dicabut.

Kasus kedua, saat isu wabah Covid19 mulai santer di beberapa negara, pemerintah kita malah mengeluarkan kebijakan kontroversial yaitu menggelontorkan sejumlah dana pada Kementerian Pariwisata untuk mengiklankan dan menarik wisatawan mancanegara untuk datang ke Indonesia. 

Bahkan beberapa menteri sempat mengeluarkan pernyataan sesumbar dengan mengatakan orang Indonesia sakti, kebal terhadap corona, virus corona tidak akan mampu bertahan hidup di iklim tropis seperti Indonesia. Padahal dia bukan ahlinya untuk dapat mengeluarkan pernyataan ini.

Kasus ketiga, sebelum rencana larangan mudik bergulir, di bulan April, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Menhub Ad Interim Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan tak ada larangan mudik di lebaran 2020. Tujuannya, agar roda ekonomi bisa tetap berjalan kondusif. 

Ini bertentangan dengan himbauan sebelumnya mengenai social distancing dan pencegahan penyebaran virus dari daerah zona merah ke daerah lain. Setelah itu, muncul juga mengenai himbauan larangan mudik. Kemudian sampai Presiden sendiri harus mengeluarkan statment yang membingungkan dengan mengatakan mudik dan pulang kampung itu berbeda. 

Begitu pula dengan kontroversi kebijakan dibukanya penerbangan internasional bahkan mengundang banyak tenaga kerja asing dari Cina, negara asal Covid19. Masih banyak lagi kasus yang memperlihatkan kerapuhan dan tidak sejalannya Kabinet Indonesia Maju.

Kasus keempat yang sempat bikin geger, staf khusus Presiden mengirimkan surat kepada para Camat di Indonesia, untuk bekerja sama dengan perusahaan pribadinya, PT Amartha Mikro Fintek. Surat dengan logo garuda dan berkop Sekretariat Kabinet dianggap melangkahi kewenangan dan tidak beretika. 

Mungkin inilah kelemahan gaya anak muda, mudah tersulut emosi untuk segera berkomentar, terlalu bersemangat sampai lupa ada batas-batas yang perlu diperhatikan. Boleh dibilang, terlalu sembrono. Lupa bahwa kata-kata yang mereka lontarkan, kini bisa menjadi hukum, menjadi pedoman, menjadi acuan. Lupa bahwa mereka kini ada dalam satu bahtera yang harus saling sinergi. Alhasil, sang kapten kapal sibuk menambal kebocoran-kebocoran yang dilakukan anak buahnya dengan hal yang malah jadi terlihat konyol.

Sesungguhnya pemerintah yang dinahkodai oleh Jokowi sedang melakukan interaksi simbolik kepada kita sebagai masyarakatnya. Lewat komunikasi politik yang dibangun, ia ingin mencitrakan pemerintahannya yang visioner, enerjik, merakyat dengan gaya anak mudanya. Seperti yang dikatakan Herbert Blumer dalam teori interaksi simbolik, bahwa makna diciptakan dalam interaksi manusia yang mendorong untuk bertindak berdasarkan makna yang diberikan itu. Namun yang tidak kalah penting, makna itu juga dimodifikasi melalui interpretasi yang bisa sangat subjektif.

Inilah celah kelemahan yang mungkin lupa dipikirkan oleh Pemerintahan Jokowi jilid II. Interpretasi masyarakat sudah terlanjur memandang rapuh, penuh miskomunikasi. Akhirnya pesona Kabinet Indonesia Maju yang dicitrakan pudar lebih awal. Jika Sang Kapten Kapal tidak segera berbenah dan memperbaiki, bukan tidak mungkin bahtera ini akan terombang ambing saja di samudra atau bahkan karam sebelum berlabuh di dermaga kemajuan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun