Mohon tunggu...
Wreda Wibiksana
Wreda Wibiksana Mohon Tunggu... wiraswasta -

Sedang dalam pencarian diri, berita, jodoh, kacamata, kunci, dll.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ella Sang Pendamai

26 Desember 2013   19:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:28 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Langit mendung di pagi hari memang cocok banget menggambarkan suasana hati Jono. Dia galau bukannya tanpa sebab. Pasalnya ketika pembagian kelompok membuat tugas makalah, tugas itu  dibagi per kelompok tiga orang. Jono sekelompok dengan Ella. Tapi bukan Ella yang menjadi sumber kegalauannya, bahkan Jono senangnya setengah hidup ketika dipasangkan dengan Ella. Yang menjadi masalahnya adalah ketika lagi senang-senangnya dia berpasangan dengan Ella dimana siapa pun anggota  lainnya tidak masalah. Eh yang terpilih menjadi anggota yang satunya lagi adalah si Billy, musuh bebuyutannya sejak lama. Bahkan saking lamanya penulis pun tak tahu kapan permusuhan itu berawal.

Setelah berembuk alot untuk menentukan tempat pengerjaan tugas, akhirnya mereka setuju untuk mengambil jalan tengah yaitu di rumah sang penengah, Ella. Setelah itu, mereka berdua berpencar menuju kelas masing-masing karena mengambil mata kuliah yang berbeda kecuali Ella pulang duluan.

Langit mendung sejak pagi masih awet sampai siang hari, begitu juga Jono yang masih bermuram durja sampai kini. Setelah kelas berakhir dia duduk sendirian di pinggiran kolam yang letaknya di sebelah gedung serba guna. Alangkah sebalnya Jono, harus dipasangkan dengan Billy. Kini dia juga harus menunggu musuh bebuyutannya itu yang terkenal ngaret, mana banyak nyamuk lagi.

"Sorry bro, terlambat soalnya tadi gue ngobrol lama sama si Rani anak desain." Kata Billy cengengesan.

"Bra bro..., lo kali turun bero. Sejak kapan gue sodaraan ama lo?!" seru Jono sambil melengos.

Di pertemuan sebelumnya mereka sepakat untuk pergi bersama ke rumah Ella, berhubung mereka sama-sama gak hapal kota Bandung. Walaupun mereka berdua sudah dibekali alamat lengkap dan disertai peta abstrak ala Ella, bukannya mengerti malah mereka tambah bingung. Kendati tidak paham apa yang tertera dalam peta tersebut, namun demi menjaga perasaan Ella, Jono dan Billy tidak mempermasalahkannya. Yah minimal kalau pun tersesat, mereka tersesat bareng pikir mereka. Bukankan dua kepala lebih baik dari satu? (Heh gak nyambung kali, kalau tersesat jadinya dua kepala yang sama-sama bingung)

Mereka berdua berjalan ke tempat parkir kendaraan yang terletak tidak jauh dari situ. Ketika sampai, terjadilah pertengkaran mengenai kendaraan mana yang akan dipakai tuk mencapai rumah Ella.

"Kita pake mobil gue saja, Jon. Biar lebih cepat nyampenya."

"Gila lo emang sudah berapa lama lo tinggal di Bandung. Apa lo gak tahu jam gini pasti macetnya bukan main, ini hari sabtu Bill."

"Lalu kita kesana pake apa kalo bukan mobil gue?"

"Ojek lah, pan kita gak ada yang hapal jalan."

"Ogah banget naik ojek, gak level."

Dan debat mereka berlanjut jam demi jam, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun dan demikian lebay-nya penulis padahal kejadian yang sebenarnya hanya berlangsung beberapa jam saja. Perdebatan mereka terhenti ketika terdengar suara hape dari kantong Billy.

Lagu indah nan merdu dari band Wali yang berjudul suka atau tidak. Setelah mendengar lagunya suka atau tidak, terpaksa Billy menghentikan perdebatan mereka tuk menjawab telepon.

Lagi-lagi Jono harus menunggu Billy yang sedang bercakap-cakap dengan hapenya.

"Itu tadi telepon dari Ella. Katanya adiknya akan menjemput kita," jelas Billy.

Singkat cerita adiknya Ella datang menjemput Jono dan Billy di kampus. Dan dalam perjalanan Jono dan Billy meneruskan perdebatan mereka yang tertunda, dimana adiknya Ella hanya menjadi pendengar tidak setia karena di telinganya bergantung sebuah earphone yang sedang memainkan musik hard rock. Akhirnya sampailah mereka di tempat tujuan.

"Hai guys, bilang dong kalau kalian tidak hapal jalan. Mari silahkan masuk," sambut Ella dengan ramah.

Mereka--minus adiknya Ella yang dengan cueknya langsung berangkat lagi entah kemana--mengikuti Ella ke ruang tamu.

"Kenapa kalian kelihatan kecapaian? bukankah rumah saya dekat dari kampus, hanya dengan jalan kaki lima menit juga sudah sampai."

"Ini nih si Bero... eh Billy dari tadi ngajak berantem. Masak katanya dia mau kesini naek mobil. Sok borjuis, pan jarak tempuh cuma jalan kaki lima menit."

"Belagu, lo juga gak tahu kan alamat rumah Ella. Ini si Jono malah lebih parah, dia inginnya pake angkot. Kalo naek angkot kan satu menit kemudian sudah turun lagi, untung di angkotnya."

"Ya sudah, yang penting kan sudah sampai dengan selamat. Sekarang kalian ingin minum apa?"

"KOPI!!"jawab Jono dan Billy serempak.

"Kalian mau kopi apa? kopi hitam, susu, atau mocca?"

"HITAM!!" kata mereka lagi-lagi serempak.

Mereka pun tertawa bersama dengan riang gembira. Akhirnya perselisihan diantara mereka cair. Apa pun persoalannya, minumnya tetap KOPI HITAM hangat yang menyatukan perbedaan di antara mereka. Jadi kopi hangat itu penting, terutama di musim hujan nan dingin ini. Eh bukan, yang penting adalah melihat persamaan bukan perbedaan, minimal sepakat untuk tidak sepakat pun jadi asalkan tidak memaksakan pendapat hingga menimbulkan konflik.

Bandung, 26 Desember 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun