Daryu menjelaskan seperti berkata pada dirinya sendiri, bahwa ia bisa saja ke kota, bekerja, mengaktualkan diri. Seperti yang lain, orang-orang muda yang pergi merantau. Tetapi, kalau bapak berkorban berjuang demi desa, ia juga berjuang, berkorban demi Bapaknya. Sampai sekarang ia masih setia mengikuti mandat dari ibunya untuk menjaga si bapak. Ia sebagai anak tunggal, tidak ada lagi orang yang akan menjaga bapaknya di masa tua. Apalagi di masa muda, bapaknya sangat aktif.
“Pasti Bapakmu butuh orang yang merawatnya,” ibu berkata.
Daryu menjelaskan bahwa ia mengorbankan diri demi bapaknya. Sekolah tinggi ternyata harus kembali ke desa. Dan hubungannya dengan Ramadi juga dikandaskan, karena Ramadi maju pilihan beradu dengan pak Jogo. Tetapi pendapat ini ditentang Bapaknya bahwa seharusnya sudah haknya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Tidak perlu terpaku pada mandat ibunya.
“Saya juga berkorban, Pak. Tetapi Bapak selalu minta pengorbanan buat desa,” jelas Daryu tak mau kalah.
“Aku sengaja memilih orang-orang muda, untuk mencari suara. Tapi rupanya mereka tidak bisa diandalkan. Rusak semua,” kata Pak Lurah Tua.
“Apa Bapak mau mengungkit-ungkit hubunganku dengan Ramadi? Sudah tidak ada hubungan lagi, Pak. Aku bukan pengkhianat, meskipun tidak bisa membuat Bapak jadi pemenang,” kata Daryu lemah.
Dari jalan di samping rumah, tampak seorang muda bersepeda, mendekati rumah itu, seketika menarik pandangan Daryu. Sedangkan si bapak, dengan pelan, beranjak masuk ke rumah. Pemuda itu masih sempat melihat; Daryu pun menoleh ke arah bapaknya, Pak Jogo.
Sepeda itu berhenti di depan teras. Ia menunduk pada Daryu yang sudah berdiri dan berjalan mendekat ke arah pemuda itu.
“Bapak, ada?” tanya pemuda itu, Ramadi, dari sepedanya.
“Ada, Mas. Monggo duduk dulu. Ini Bapak tadi baru saja masuk. Silakan duduk,” kata Daryu.
Mereka duduk di kursi teras itu terlihat akrab dengan basa-basi, saling senyum yang mengalir gampang, bahkan kadang mereka sempat tertawa kecil.