Mohon tunggu...
Wiatmo Nugroho
Wiatmo Nugroho Mohon Tunggu... -

hamemayu hayuning Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tsunami Dream

21 Februari 2017   17:46 Diperbarui: 27 Juni 2017   00:22 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan ia tak berhenti, ia ingin menuntaskannya. Ia tahu akan kehilangan waktu untuk bersantai atau bersenang-senang, seperti juga ia tahu akan ada orang mengatakan, ”Lukisanmu begini-begitu.” Tetapi ia tak berhenti, ia terus dan terus karena ia merasa tak merugi. Meskipun ia juga tak untung.

“Untuk diri sendiri, mengapa tidak?” toh tidak mengganggu dan merugikan orang lain.

Namun ia tak menduga, setelah lukisan itu selesai ia jatuh sakit selama beberapa hari, hampir seminggu. Sakit yang akhirnya sembuh dengan sendirinya. Ia tak nyaman dengan sakit itu. Sakit biasa saja. Lukisan itu membuatnya kelelahan. “Harus bangun lagi, harus sembuh, agar lukisan itu tak sia-sia.”

Hanya setelah gadis itu beranjak dewasa dan jauh di negeri orang, barulah ia tahu bahwa waktu itu adalah satu waktu yang akan ia harapkan bisa datang lagi. Ia tak akan pernah lupa, bagaimana ia menggores sketsa-sketsa; bagaimana ia menyapukan warna-warna langit dan mencocokkan dengan warna hasil sapuan kuasnya, bagaimana ia minta bantu pada Ahmadun meminta cat.

Ia akan ingat, seperti yang diingatnya kini, setiap warna yang dicampur dan disapukan di kanvas. Dan ia juga tak akan lupa setiap sapuan itu, kuning, merah, hitam, biru, putih dan campuran-campurannya.

Di satu sore yang lain, jauh setelah aku melukis senja, di antara teman-teman yang sibuk mengajari anak-anak, di antara paman yang bercerita dan berpuisi, Paman bertanya padaku, ”Apakah kau mau, seandainya kau belajar di luar negeri?”

“Maksud Paman?” tanyaku.

“Aku dan teman-teman mengirim sebagian hasil kegiatan di sini, lukisan-lukisanmu, puisi-puisi Abdul, dan yang lainnya, pada satu lembaga di luar negeri. Mereka tertarik, dan berniat memberi bea siswa secara khusus.”

Ternyata, lukisan senja itu lukisan terakhirku di sana.

Dan di tempat itu, tempat kulukis matahari terbenam, ternyata mampu menyembuhkan luka-luka yang getir. Setidaknya dari tempat itu kami merasakan damai yang sebenarnya, tanpa perdebatan seperti apakah damai itu, atau damai itu datang bersama siapa. Kami tertawa, bercerita, menari. Di pantai dalam lukisan itu kami berbagi damai.

Tak lagi kudengar getir perang, yang selalu menjadi bagian cerita dan perbincangan kami dulu. Entah bapak yang hilang tak kembali, mati atau hidup, tak sengaja tertembak oleh tentara-tentara yang entah yang mana memihak kami-kami ini. Kalau benar ucapan bahwa mereka membela kami, mengapa mereka tak memberi kami damai?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun