Mohon tunggu...
Wiatmo Nugroho
Wiatmo Nugroho Mohon Tunggu... -

hamemayu hayuning Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tsunami Dream

21 Februari 2017   17:46 Diperbarui: 27 Juni 2017   00:22 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tetapi pagi ini, aku tidak mengenang kejadian lalu. Aku menatap lukisan itu dan di sekeliling api unggun.

“Bukan! Ini bukan kenangan!”

Kamilah yang tertawa, bahagia, bercanda, terlukis di sana, bukan gagak-gagak yang parau bersuara. Anak-anak yang masih tulus bermain lah yang ada di pantai, bukan raksasa yang hitam yang haus segala-galanya. Mimpi, raksasa itu hanyalah ada di mimpi saja. Ia tak akan merusak pantai tempat kami sehari-hari merasakan senja warna-warni seperti di lukisan itu. desis dan deru angin di mimpiku yang tak karuan menyerbu tak akan mengusir suara-suara kami yang terdengar dari lukisan itu.

Sebuah awal dan sebuah akhir ada dalam lukisan itu.

Seorang paman di kampungku, suatu hari datang ke sekolah, dan minta ijin kepada kepala sekolah untuk membuat kegiatan sore, entah bermusik, bercerita, berpuisi, mengarang, melukis, atau menari. Ia bersama-sama teman-temannya punya kemampuan untuk itu. Mereka bersama-sama ingin menularkan, terutama kepada anak-anak.

Kami anak-anak sekolah, akhirnya merasakan kegembiraan itu. Satu minggu dua kali kami di bawa ke pantai itu. Satu hari kami membuat puisi, melukis, atau mendengarkan cerita hingga dari hari ke hari kami mendapatkan semuanya. Beberapa di antara kami lebih senang musik, beberapa lagi puisi dan cerita, dan aku lebih suka melukis.

Kegiatan yang hingga kini masih terus. Sampai ketika kami beranjak remaja kami mulai bisa membantu belajar anak-anak yang baru, berlatih dan berlatih di sela-sela kesibukan sekolah.

Telah banyak lukisan kubuat, berbagai ukuran, dengan tema beragam; laut, nelayan, perkampungan, sketsa wajah dan banyak lagi.

“Jangan! Jangan bosan melukis. Tak ada yang sia-sia dengan buah karyamu sendiri, karena kau kerjakan sepenuh hati. Yakinlah suatu hari kau akan tahu,” kata-kata Pamanku menyemangati.

Hingga akhirnya, di satu sore, aku ke pantai dan melukis sendirian. Berhari-hari aku selesaikan lukisan itu di antara waktu sekolah dan pekerjaan sehari-hari.

Gadis remaja itu sama sekali tak tahu apa yang dirasakannya. Ia tak tahu, kalau pada waktu-waktu itu jantungnya berdetak lebih cepat; mengapa ia harus merelakan diri diburu-buru waktu. Ada yang membuatnya ingin melukis pantai di sore itu. Bukan dari suruhan orang, bukan ilham dari langit, bukan pula karena ada lukisan hebat tentang pantai. Mungkin ia ingin menjawab pertanyaannya sendiri; mengapa ia suka melukis, bagaimana melukis seperti yang telah dipelajarinya, dan apakah melukis itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun