Sudah siapkah institusi pendidikan perawat dengan uji kompetensi ?
Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan melalui perbaikan kualitas sumberdaya manusia dengan harapan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dapat meningkat. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dilakukan dengan pengaturan tenaga kesehatan baik dari sisi kuantitas, kualitas serta distribusi yang sesuai.
Kondisi sistem pendidikan kesehatan di Indonesia dari Sabang sampai Merauke sangat beragam, dimana keragaman ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas para lulusannya. Standar pendidikan akan berimplikasi terhadap standar kompetensi yang ditetapkan dimana standar kompetensi ini akan berpengaruh besar terhadap standar kualitas pelayanan. Berdasarkan hal tersebut, bisa disimpulkan bahwa sangat penting adanya standar lulusan tenaga kesehatan yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan akan kualitas layanan yang baik.
Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menjaga kualitas pelayanan kesehatan adalah dengan diberlakukannya uji kompentesi dengan dasar hukum Permenkes Nomor 1796 tahun 2011 tentang registrasi tenaga kesehatan yang merupakan pengganti Permenkes Nomor 161 tahun 2010 tentang registrasi tenaga kesehatan, dimana lulusan sebelum tahun 2012 diberikan STR langsung (pemutihan) tanpa harus melakukan uji kompetensi. Mulai tahun 2012 uji kompetensi dilaksanakan sebagai exit exam. Permenkes Nomor 1796 tahun 2011 ini menjelaskan bahwa uji kompetensi perlu diadakan bagi setiap peserta didik yang telah menyelesaikan jenjang pendidikannya sebagai suatu bentuk penjamin mutu lulusan pendidikan tinggi kesehatan dan kompetensi tenaga kesehatan di Indonesia.
Era globalisasi dan pasar bebas yang terjadi dalam bidang kesehatan merupakan suatu tantangan dan peluang bagi para tenaga kesehatan di Indonesia, sebagai tantangan karena mereka harus mampu bersaing dengan para tenaga kesehatan dari luar negeri dan sebagai peluang dengan semakin luasnya kesempatan berkarir di pasar lokal maupun pasar global. Tuntutan utama dalam menghadapi situasi seperti ini adalah peningkatan kualitas tenaga kesehatan Indonesia agar lebih unggul.
Uji kompetensi merupakan suatu cara yang dilakukan untuk mengukur kesesuaian antara kemampuan dengan standar profesi, seperti yang dikemukakan oleh (Primadi,2010) bahwa uji kompetensi adalah suatu proses untuk mengukur pengetahuan, keterampilan dan sikap tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi. Uji kompetensi dilakukan agar tenaga kesehatan layak secara kognitif afektif dan psikomotor untuk melakukan praktek pelayanan kesehatan. Kelayakan melakukan praktek pelayanan kesehatan ini dinyatakan melalui Surat Tanda Registrasi (STR).
STR ini diterapkan sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan, melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan tenaga kesehatan (Primadi,2010). Pelaksanaan uji kompetensi seharusnya ditunjang oleh fasilitas dan tenaga pengajar yang mumpuni, seperti pada tahap proses pendidikan ditunjang dengan kualitas kurikulum yang sesuai dengan perkembangan serta standar dan tuntutan perkembangan yang ada. Kondisi tersebut akan terlihat dari kualitas lulusan yang tentunya akan mempengaruhi kualitas profesi tenaga kesehatan khususnya perawat. Uji kompetensi ini akan menguji kualitas dari lulusan yang dihasilkan, yang tentunya kualitas institusi penyelenggara pendidikan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam hal kelulusan peserta didik terhadap uji kompetensi yang dilakukan.
Tujuan baik dari uji kompetensi ini tentunya haruslah kita dukung, akan tetapi tujuan baik ini haruslah ditunjang dengan pengeloaan yang baik pula supaya apa yang diharapakan dapat dicapai. Hal itulah yang perlu kita sikapi dan perhatikan karena terkadang menjadi dilema. Uji kompetensi ini telah diberlakukan mulai tahun 2013 dengan exit exam artinya uji kompetensi menjadi satu kesatuan dari penyelenggaran proses pendidikan, sebagai gambaran seorang mahasiswa akan dapat yudisium dan mendapatkan ijasah apabilah telah dinyatakan lulus uji kompetensi dengan dibuktikan melalui surat kelulusan dari panitia nasional uji kompetensi kepada institusi pendidikan untuk dikeluarkan sertifikat uji kompetensi kepada para lulusan. Sertifikat ini nantinya akan menjadi syarat dalam memperoleh STR dari Dina Kesehatan, setelah itu barulah para lulusan tersebut dinyatakan sebagai seorang perawat. Dapat kita bayangkan disini bahwa sekian tahun proses pendidikan yang dilalui ternyata hanya ditentukan oleh selembar sertifikat kelulusan uji kompetensi. Pertanyaan besar muncul, bisakah hal itu menjadi jaminan lulusan telah kompeten? Jawaban pertanyaan tersebut menjadi tidak jelas karena kita belum melihat bagaimana hasil dari uji kompetensi tersebut. Secara rasional kita akan berfikir ketika ujian berharap semua dapat lulus, tapi bagaimana dengan mahasiswa yang belum lulus uji kompetensi? Mahasiawa yang tidak lulus uji kompetensi tentunya tidak dapat mengikuti yudisium dan harus menunggu untuk uji kompetensi berikutnya. Kondisi ini bukan saja menjadi beban moril bagi mahasiswa itu sendiri karena harus menunggu untuk uiian kompetensi berikutnya tetapi juga menjadi beban moril institusi penyelenggara pendidikan. Persoalan teknis yang terjadi adalah waktu tunggu bagi mahasiswa yang lama dan selalu berubah-ubah sehingga tidak memberikan kejelasan waktu bagi mahasiswa bisa lulus serta mendapat ijasah agar mereka dapat segera mendapatkan pekerjaan.
Hasil wawancara penulis dengan beberapa pengelola institusi pendidikan keperawatan baik swasta maupun negeri, pada umumnya mereka setuju dengan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas lulusan dan menyeragamkan standar institusi pendidikan yang menghasilkan lulusan, tetapi mungkin perlu ditinjau ulang terkait dengan pelaksanaan uji kompetensi sebagai exit exam karena selain waktu tunggu yang relatif lama dan waktu ujian yang selalu berubah sementara setiap institusi memiliki kalender akademik yang berbeda-beda yang tentunya hal ini dapat mempengaruhi proses pembelajaran. Tuntutan sosial juga akan dialami mahasiwa yang belum lulus uji karena waktu sekolah menjadi lebih lama sehingga akan timbul pertanyaan bukan hanya dari orang tua saja tetapi juga masyarakat sekitar atau lingkungan, belum lagi kebijakan institusi yang berbeda-beda terkait dengan penambahan waktu semester yang akan berpengaruh terhadap biaya yang harus ditanggung mahasiswa.
Pelaksaan ujian kompetensi secara Computer Based Test (CBT) ini sendiri berjalan bukan tanpa kendala, menurut salah seorang pengelola institusi pendidikan kesehatan negeri yang juga sebagai koordinator regional tiga Asosiasi Pendidikan Ners Indonesia menyatakan bahwa keterbatasan CBT terutama untuk wilayah timur Indonesia serta keterbatasan soal yang tersedia di bank soal menjadi kendala utama dalam pelaksanaan uji kompetensi tersebut.
Tujuan standarisasi kualitas tenaga kesehatan secara nasional memang harus dilakukan sesuai dengan UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Permendiknas Nomor 83/2013 tentang Sertifikat Kompetensi dan Permenkes Nomor 46/2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan, dasar hukum tersebut menjadi dasar timbulnya peraturan bersama antara Kemendikbud dan Kemenkes yaitu PB Uji Kompetensi No. 36/2013 dan No.1/IV/PB/2013 tentang Panduan Penyelenggaraan Uji Kompetensi Perawat, Bidan dan Ners tahun 2013. Peraturan bersama tersebut sudah mengatur tentang pelaksanaan teknis penyelenggaraan uji kompetensi yang seharusnya dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pelaksaaan uji kompetensi agar kendala yang terjadi dapat diminimalisir. Komitmen yang tinggi dalam hal ini sangat dibutuhkan supaya tujuan baik untuk standarisasi kualitas dapat terwujud dengan lebih bijaksana.
Fakta menunjukan bahwa sarana dan prasarana pendidikan kesehatan di setiap institusi penyelenggara sangat beragam sehingga secara logika tentunya akan berpengaruh terhadap kulaitas lulusan yang dihasilkan sehingga terjadi ketimpangan antara satu institusi dengan institusi lain. Pemerintah sebaiknya berupaya menyelesaikan masalah secara bottom up artinya bahwa penyelesaian masalah dimulai dari institusi penyelenggara terlebih dahulu, untuk meningkatkan kualitas lulusan tenaga kesehatan pemerintah harus lebih intens melakukan monitoring, pembinaan serta evaluasi eksternal terhadap institusi penyelenggara pendidikan kesehatan agar tetap berada dalam standar yang ditentukan, tidak membiarkan berjamurnya institusi penyelenggara pendidikan kesehatan yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas sesuai standar karena pada akhirnya akan menimbulkan masalah serta kerugian dimana masyarakatlah yang akan menjadi korbannya.
Penulis berharap pemerintah lebih bijaksana dalam membuat dan melaksanakan kebijakan terkait uji kompetensi ini, upaya yang dilakukan memang sangatlah baik tetapi diperlukan kajian lebih dalam terhadap pelakasanaan uji kompetensi dengan exit exam. Gejolak pelaksanaan uji kompetensi sudah dirasakan dan panitia pelaksana ujian dirasakan belum cukup siap melaksanakan uji kompetensi ini, sangat bijaksana apabila pemerintah secepatnya mengevalusi pelaksanaan uji kompetensi ini dari dampak yang terjadi dan secepatnya untuk ditindaklanjuti.
Ketidaksiapan bukan berarti kita harus menghentikan niat baik ini, tetapi belajar dari kekurangan dan kesalahan agar tidak terjadi lagi kekurangan dan kesalahan yang sama di masa yang akan datang.
Daftar Pustaka
Ayuningtyas,D.(2014). Kebijakan Kesehatan: prinsip dan praktik. Jakarta: Rajawali Pers
Republik Indonesia. 2011. Peraturan Mentri Kesehatan No. 1796 tahun 2011. Jakarta:
Sekretariat Negara
Primadi, (2010).Kebijakan dalam Pelaksanaan dan Persiapan Uji Kompetensi. Jakarta: BPPSDMK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H