Mohon tunggu...
Wahyu Hidayati
Wahyu Hidayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - WH

"Kualitas dirimu bisa terlihat melalui kemampuan menulismu"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Belati di Tangan Sendiri

15 Maret 2022   21:30 Diperbarui: 15 Maret 2022   21:31 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku terkejut mendengar pernyataan Panji. Aku sunggguh tak mengerti apa yang dimaksudnya dengan ‘dijajah kembali’.
          “Apa maksudmu?”
          “Kita sekarang dijajah, kita lawan, lalu merdeka. Setelah itu ada penjajahan lagi, kita lawan, merdeka dan seterusnya. Semua ini tidak akan ada akhirnya. Sama halnya dengan hari. Setiap hari matahari datang lalu pergi. Lalu datang lagi. Hanya saja setiap hari berikutnya tidak akan sama dengan hari sebelumnya. Penjajahan juga seperti itu. Penjajahan selanjutnya akan berbeda dengan penjajahan sekarang ini. Beda yang menjajah, beda sistem penjajahannya. Mungkin di masa depan penjajahan akan lebih mengerikan dari sekarang ini. Bisa jadi penjajah itu berasal dari saudara sebangsa sendiri”
          “Maksudmu akan ada masa dimana anak cucu kita akan saling menjajah?” tanyaku semakin keheranan.

Sorot matanya tetap tajam. Seakan ikut membenarkan argumenya.
          “Begitulah. Apakah itu tidak lebih menyakitkan?” Aku terdiam. Ada benarnya juga omongan Panji. Pasti akan sangat menyakitkan jika sesama saudara sebangsa akan saling menjajah. Musuh dalam selimut akan jauh lebih sulit dikalahkan ketimbang musuh yang nampak di depan mata.

          “Lalu apa yang harus kita lakukan?”tanyaku mengintimidasi.
          “Kita tidak usah ikut dalam pertempuran,”jawab Panji penuh ketegasan.
          “Maksudmu kita lari? Kita bersembunyi? Tidak” jawabanku tegas.
          “Apa yang kau cari dari pertempuran kali ini. Mustahil kita menang. Mati, itu yang akan kau dapat”
          “Walaupun aku mati, aku akan mati dengan terhormat. Mati atau tidak itu urusan belakangan. Aku tidak takut mati. Roda kehidupan biar tetap berjalan. Kalau setelah ini ada penjajah lagi, itu bukan urusanku. Ini zamanku, biar aku yang kali ini mengentaskan bangsa dari antek-antek Belanda. Untuk masa yang akan datang, itu bukan tanggung jawabku. Itu tanggung jawab generasi mendatang” suaraku meninggi. Aku naik pitam. Darahku mendidih oleh ocehan-ocehan tak berguna Panji.

           “Apa kau yakin bangsa ini akan benar-benar merdeka? Dan akan diridhai yang Maha Kuasa?” tanyanya tenang.
           “Merdeka atau tidak itu bukan urusanku. Urusanku hanya terus berjuang dan berjuang sampai titik darah penghabisan. Diridhai atau tidak tinggal kita lihat nanti ke depannya.”
Aku beranjak pergi meninggalkannya. Aku tidak ingin terus-terusan terbawa emosi. Aku tidak ingin termakan omongan tak bergunanya. Tepat jam empat pagi, kami para pejuang bangsa mulai menyerbu kamp-kamp musuh. Sesuai rencana. Aku akan menjadi kelompok pembantu untuk kelompoknya Panji. Jeritan senapan terdengar di mana-mana. Musuh tidak mengira akan diserang pagi-pagi buta. Dengan sekejap mereka membalas serangan kami dengan senjata yang tentunya lebih mutakhir.
            Hujan peluru mulai mendera. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Satu, dua, tiga, sepuluh, seratus, bahkan tak terhingga jumlahnya. Bau anyir darah mulai menusuk hidung. Suara jeritan senapan makin menggila, diiringi jeritan manusia yang tak berdaya.

       “Dorrr!!!”

Kakiku tertembus peluru musuh. Aku terkapar. Aku menjerit. Aku mencoba terus bertempur, aku tidak ingin menyurutkan semangat merdekaku. Aku tembaki antek-antek itu dengan semampuku.
            Dari kejauhan aku lihat Panji berlari menuju kamp musuh sendirian dengan pistol di tangannya. Ia lihai menghindari timah-timah panas yang siap menghujam dirinya. Aku tidak habis pikir dengan apa yang sedang ia rencanakan. Ia terus melaju. Ia nampaknya kehabisan amunisi. Ia buang pistolnya. Di tangannya kini tergenggam dua granat jagung. Aku alihkan pandanganku ke musuh yang membidiknya. Sebelum antek itu menarik pelatuknya, kepalanya bolong tertembus timah panasku. Menjadi santapan senapanku. Sesaat kemudian,

       “Bummmm!!!”

Suara ledakan terdengar dari arah kamp musuh. Api membumbung tinggi di angkasa. Semua memekikkan kata,

       “MERDEKA!!!”.
       “Dasar bodoh!!!” teriakku. Aku benar-benar tidak habis pikir. Panji mengorbankan dirinya untuk meledakkan kamp musuh. Kepalaku pusing. Dunia serasa berputar. Semua gelap. Hitam pekat. Beberapa saat kemudian kulihat ada cahaya putih menyala. Aku pun mendekati sumber itu. Semakin dekat, semakin besar cahayanya.

Ada orang memanggilku.
       “Kakek bangun!” Aku kenal jelas suara itu. Suara cucuku, Zahra. Aku terkejut, Zahra sudah berada di depanku.
       “Kakek mengigau lagi ya?” aku hanya tersenyum. Ternyata tadi hanya mimpi. Mimpi yang benar-benar pernah terjadi tujuh puluh tahun lalu.

       “Kau benar Panji. Sekarang bangsa ini telah dijajah lagi. Kini penjajah menjelma menjadi tuan-tuan berdasi. Dasar biadab. Kemiskinan tak teratasi walau sudah tujuh puluh tahun lamanya. Kesenjangan sosial sangat terpampang. Banyak orang yang terjajah di atas kemerdekaan. Dan yang lebih mengerikannya lagi, sekarang ini banyak generasi muda kita yang bobrok moralnya. Tidak punya sopan santun. Miras, narkoba, pornografi, tawuran telah merajalela. Bukan tidak mungkin para generasi inilah yang akan menjajah kita di masa depan. Sungguh mengerikan. Dahulu aku menghadapi penjajah dengan angkat senjata, tetapi sekarang aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat untuk mengusir penjajah ini. Mungkin kau disana tertawa puas atas kebenaran prediksikmu. Tetapi aku disini sungguh tersakiti dengan kondisi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun