Mohon tunggu...
Wahyu Hidayati
Wahyu Hidayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - WH

"Kualitas dirimu bisa terlihat melalui kemampuan menulismu"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Belati di Tangan Sendiri

15 Maret 2022   21:30 Diperbarui: 15 Maret 2022   21:31 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

       Waktu terus bergulir. Matahari mulai kembali ke peraduan. Bintang mulai berserakan memenuhi gelapnya langit malam. Bulan sedikit menampakkan dirinya, malu-malu tertutup gumpalan mega hitam. Kupandangi sekelilingku. Sepi...sunyi...senyap. Sangat berbeda dengan beberapa jam yang lalu. Kini desingan senapan yang memuntahkan timah panas tak lagi terdengar oleh telinga. Hanya suara jangkrik dan derikan serangga yang terdengar. Mendominasi sunyinya suasana malam. Seolah alam mengerti kondisi kami. Aku bersyukur masih bisa merasakan semua kenikmatan ini. Kupikir beberapa menit yang lalu adalah kematianku. Namun, Tuhan masih enggan membawaku kembali bersama-Nya.

Aku terduduk di bawah pohon beringin yang usianya hampir ratusan tahun. Usia yang cukup untuk menyaksikan tragedi ketika bangsaku dijajah oleh orang-orang biadab. Kuletakkan senapan di pangkuan. Kubersihkan dia. Kurawat dia dengan hati-hati. Inilah nyawaku.

Tiba-tiba ada sebuah tangan menepuk pundakku. Aku kaget bukan kepalang. Kuacungkan senapan milikku ke arahnya. Ah Panji rupanya. Nyaris saja dia menjadi santapan hangat senapanku.
       “Ada apa?” tanyaku kesal seraya menurunkan senapan.
       “Komandan menyuruh kita semua untuk berkumpul,” balas Panji berusaha menetralkan rasa kagetnya.

Aku bergegas bangkit mengikuti Panji. Kepalaku terasa pusing, tapi aku biarkan. Seluruh tubuhku terasa lelah, tapi kuacuhkan. Goresan menganga penuh luka, aku hiraukan. Semua itu tidaklah penting bagiku. Yang lebih penting adalah memerdekakan bangsaku. Aku berlari menuju tempat berkumpul para pejuang lainnya. Api unggun dinyalakan. Aku dan para pejuang lain mengitari api itu. Kupandangi wajah mereka satu per satu. Nyaris tidak ada keceriaan yang terlihat di wajah mereka. Apa yang aku rasakan mungkin juga dirasakan mereka, atau bahkan lebih.

       “Besok  kita selesaikan semua ini. Kita selesaikan tugas kita. Tepat pukul empat pagi, kita semua berkumpul disini bersiap menyerang. Ini perintah dari markas pusat. Kita hancurkan kamp-kamp mereka tanpa ada yang tersisa!!” ucap tegas komandan kami, Jendral Subroto.
        “Kita bagi tim ini menjadi empat kelompok. Kelompok pertama akan dipimpin Mayor Panji, bertugas menyerang pada bagian depan . Kelompok kedua dipimpin oleh Mayor Arif mencari jalan alternatif menyerang dari arah kiri. Kelompok ketiga dipimpin oleh saya langsung , juga mencari jalan alternatif menelusuri hutan menyerang dari sektor kanan. Dan kelompok yang terakhir, kelompok empat dipimpin oleh Mayor Hasan. Membantu kelompok satu. Biar kelompok satu yang menjadi tim penggedor. Setelah itu kelompok empat langsung menyerang. Kita kejutkan mereka dengan serangan mendadak. Kita tumpas habis orang-orang biadab itu. Merdeka atau mati!!”

Aku tertegun namaku disebut. Apakah aku bisa memimpin kelompok empat? Apakah aku bisa, diumurku yang baru seumuran jagung ini?
       “Sekarang istirahatlah. Kumpulkan semua tenaga. Tenangkan pikiran. Ingat!!Jam empat tepat.”

Aku matikan api unggun. Semua kembali ke tempat masing-masing. Aku kembali ke pohon beringin tadi. Aku lihat arloji di tangan kananku. Pukul sepuluh lebih tujuh menit. Masih ada waktu sekitar enam jam untuk sejenak menenangkan diri. Sebelum esok peperangan menanti kami. Biarkan malam ini kunikmati sebentar lagi. Karena mungkin saja, esok aku sudah tak bisa merasakan semua ini. Aku letakkan senapan. Perlahan aku rebahkan tubuh penuh lukaku. Terasa sakit, amat sakit. Tapi akan lebih sakit lagi jika terus-terusan bangsaku diinjak-injak oleh antek-antek Belanda itu.

Berkali-kali aku mencoba untuk tidur. Kupicingkan mata berulang kali. Namun sulit rasanya. Banyak pikiran berkecamuk menghantuiku. Aku bangun, kulihat sekeliling. Aku lihat kawan-kawanku. Ada yang terlelap dalam tidur. Menikmati mimpi yang mungkin ini mimpi terakhir mereka. Ada yang menulis surat, padahal mereka tahu surat itu mungkin tidak akan pernah sampai. Pandanganku tertuju pada Panji. Ia sedang termenung di pojokkan sana. Segera kudekati dia.

       “Kenapa belum tidur?” tanyaku sembari duduk di sampingnya.
       “Apakah kita bisa merdeka, San?” matanya masih tertuju ke depan. Tatapannya kosong. Badannya tak bergerak seinchi pun.

       "Kenapa kau bertanya seperti itu?”
Ia terdiam sejenak, kemudian menghela nafas panjang.
         “Lebih dari 300 tahun lamanya bangsa kita dijajah. Lebih dari 300 tahun pula kita berjuang.  Namun, apa hasilnya? Nihil. Tidak pernah ada hasil apapun.”

Kini tatapannya diarahkan kepadaku. Begitu tajam. Jelas tersirat di bola matanya rasa khawatir dan pesimis.
          “Ini yang terakhir. Dahulu kita berjuang di masing-masing daerah tanpa ada persatuan. Esok semua pelosok di negeri ini akan bangkit dan menyerang bersama. Kita akan merdeka,”jawabku penuh keyakinan.
          “Apa kau yakin? Lantas setelah merdeka apa?Apa yang akan aku lakukan?Apa yang akan kau lakukan? Bukankah nanti pada akhirnya kita kembali akan dijajah?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun