Mohon tunggu...
Whysnu TaufikIsmail
Whysnu TaufikIsmail Mohon Tunggu... Dokter - Hidup sehat

Kehidupan sehari hari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Albert Camus

1 Maret 2020   20:55 Diperbarui: 1 Maret 2020   20:59 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat perang dunia kedua mendekati titik nadir, sastra Perancis tengah menemukan kemoncerannya. Gerakan sastra baru itu, kelak akan dikenal dengan aliran eksistensialisme. Sastra-sastra yang dekat dengan nilai-nilai filsafat pembebasan itu, melahirkan banyak nama. Namun, ada satu penulis besar yang menjadi legenda dan datang dari era itu. Ialah Albert Camus, seorang pria berpacakan perlente yang meninggal dunia di hari ini pada 63 tahun lalu.

Albert Camus lahir sebagai seorang Algeria. Ia dilahirkan pada 7 November 1913 di Drean, di sebuah keluarga kecil dan miskin yang hidup di pinggiran kota. Ibu Camus orang Spanyol, sementara ayahnya asli Algeria. Namun Camus tak pernah punya ingatan bahagia dengan sang bapak. Karena, ayahnya ditembak mati pada sebuah perang, tepat di ulang tahun kedua Camus.

Kemiskinan dan Camus adalah sahabat karib. Ia harus membantu Ibunya menopang keluarga sejak usia belia. Rutinitias seperti itu, terus berulang hingga ia menapaki perguruan tinggi. Albert Camus berkuliah di jurusan filsafat di Algiers University. Sejak saat itu, ia akrab dengan filsafat, sastra, dan pergerakan politik.

Bakat menulis Camus pun mulai mendapat sorotan Namanya menjadi langganan media-media yang moncer pada zamannya seperti Alger-Republicain di periode 1937-1939 dan di Soir-Republicain pada periode 1939-1940. Camus mencetak karyanya saat Eropa tengah dilanda depresi berkepanjangan. Ia membaca situasi politik saat itu untuk memperkuat karya tulisnya.

Nilai sosial
Dengan kedua bukunya itu, ia mulai menjadi juru bicara bagi moralitas modern yg baru, kemampuan untuk menghodapi kehidupan di hadapan sang "Absurd".
Albert Camus menciptakan dua buku yang di dalamnya mengandung nilai moral untuk kehidupan Sosial. 

Hingga puncaknya adalah, saat perang dunia hampir berakhir di tahun 1945. Saat rekan-rekan filsufnya turut dalam pergolakan, Camus justru memilih menyendiri dan mengurung dirinya di bilik sempit miliknya. Di sana, dua karya yang kelak akan mengubah wajah dunia lahir. The Strager dan The Myth of Sisipus, adalah rangkaian prosa yang kelak memacakan nama Camus sebagai legenda sastra dunia.

Setelah namanya berada di tampuk sastra Prancis saat itu, Camus pun mulai semakin dikenal. Hidupnya pun mulai dikelilingi orang-orang hebat, sekaligus groupies yang terus mengutitnya. Salah satu orang pentinya yang semakin mengasah pengetahuan Camus adalah, Jean-Paul Satre, seorang filsuf muda yang juga tertarik dengan eksistensialisme.

Setelah dua bukunya meledak di pasaran, Camus justru merasa semakin gagal. Selain itu, kedekatannya dengan Sartre juga semakin membuatnya merasa terpuruk. Karena, setiap orang selalu mengangap Camus adalah murid ideologis dari Sartre. Padahal, ia sama sekali tak suka dengan tudingan itu. Akhirnya, Camus pun memilih mengasingkan diri, dan menghabiskan waktunya untuk menulis dan menulis.

Semasa di pengasingan---yang ia buat sendiri---karya-karya Camus semakin absurd. Ia mencampuradukan kesepian, kemarahan, dan absurditas hidup menjadi satu. The Plague dan The Rebel---dua buku baru Camus---semakin membuat publik semakin menggandrunginya.

Lewat dua buku itu, ia pun diganjar sebagai penerima nobel pada tahun 1957. Sejak saat itu, Camus mulai jarang menulis. Ia justru lebih getol menjadi pengamat politik dan pembela Hak Asasi Manusia (HAM).

Bahkan, bukunya yang The Rebel dianggap sebagai ekspresi politik yang paling relevan dengan kondisi sosial Prancis saat itu. Camus, menyebutnya sebagai absurdisme. Ia pun juga sesekali mengirim tulisan di Koran L'Express pada 1955-1956.

Namun, sayang pada 4 Januari 1960 nasib naas menimpa dirinya. Dalam perjalannya pulang kerumah setelah ia menulis kisah masa kecilnya untuk novel barunya, Camus menabrak sebuah pohon dengan mobilnya. Kecelakan itu, merenggut nyawa Camus. Sastra dunia seketika berduka setelah kejadian itu. Konon, Le Algeries, buku yang tak pernah selesai itu adalah masterpiece dari Albert Camus.

Nilai moral
Tiada hari tanpa resah dan menulis, ituleh gambaran sekilas mengenai diri Camus.
Albert adalah seorang yg rajin. Setiap hari la lalui dengan menulis karya-karyanya.

Nilai pengetahuan
Lanjutnya, kita menghabiskan Semua energi untuk mendorong beban kita menentang kesia-siaan dan frustasi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun