Mohon tunggu...
Muhamad WahyuSaputra
Muhamad WahyuSaputra Mohon Tunggu... Ilmuwan - Seorang yang berusaha kritis

Mahasiswa Pertanian yang senang menulis artikel lepas

Selanjutnya

Tutup

Money

Model Cooperative Farming dalam Usaha Pertanian Rakyat sebagai Kunci Kesejahteraan Petani

18 Juni 2020   19:35 Diperbarui: 18 Juni 2020   19:41 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Pixabay.com

Model pertanian cooperative farming tidak semata-mata untuk memudahkan pengadaan akses modal sarana produksi dan pasar saja, petani yang tergabung dalam kelompok tani berdasarkan pendekatan cooperative farming harus dapat menerapkan pola pertanian komun. Pihak swasta yang berinvestasi mengharapkan setiap anggota petani dalam kelompok tani menghasikan produk yang berkualitas dan seragam, sehingga dalam implementasi budidayanya secara tidak langsung akan menerapkan azas gotong royong antar anggota petani. Selain mengurangi sumber daya produksi, adanya model pertanian kelompok dengan pendekatan cooperative farming memungkinkan mengurangi kebutuhan modal untuk tenaga kerja saat budidaya. Demikian, model pertanian cooperative farming dapat menurunkan modal produksi yang bersumber dari petani dan menjamin keuntungan antara petani dan mitra.

Selain sebagai pengelola sumber modal sarana produksi pertanian, kelompok tani dengan pendekatan cooperative farming juga berpotensi berfungsi sebagai sarana logistik produk pertanian. Kadry, dkk (2013) memaparkan bahwa penerapan Sistem Resi Gudang (SRG) dalam kelompok tani dengan model cooperative farming memiliki manfaat berupa: 1) tunda jual, yang bertujuan menyimpan kelebihan hasil panen raya; 2) produk dapat dijual ketika suply terjun dan demand naik yang apabila dikelola dengan baik dapat menjaga stabilitas harga pangan; 3) meminimalisir penimbunan barang oleh pengepul yang sangat merugikan petani.

Contoh Implementasi Cooperative Farming pada Koperasi Unit Desa  (KUD)

Banyak contoh kongkrit petani yang menerapkan model cooperative farming dan berhasil dalam memperbaiki taraf ekonomi anggotanya. Model cooperative farming tidak hanya terpaku pada organisasi kelompok tani, tapi juga pada model organisasi koperasi maupun UMKM yang dikelola sepenuhnya oleh petani. Salah satu model cooperative farming dalam bentuk koperasi adalah Koperasi Unit Desa (KUD) yang secara riil berdiri karena kehendak masyarakat.

Salah satu KUD yang menerapkan cooperative farming dalam kinerjanya adalah KUD Cepogo Boyolali. Awal berdirinya KUD Cepogo Boyolali merupakan penyatuan koperasi-koperasi yang masih aktif di Kecamatan Cepogo untuk menghindari kompetisi antar-koperasi. KUD Cepogo Boyolali pada mulanya hanya beranggotakan 26 orang dan mendapatkan Badan Hukum No. 8472/BH/VI/1973 pada 28 November 1973. Berdasarkan laporan Rahayu (2013) saat ini KUD Cepogo memiliki peran penting dalam pengolahan pascapanen dan pemasaran susu sapi dari peternak terdaftar secara kolektif. 

Aini, dkk (2016) melaporkan bahwa KUD Cepogo juga memiliki peran dalam memberikan berbagai layanan pendukung sarana produksi, mulai dari peminjaman kredit modal, bimbingan dan kemampuan teknis pada produksi dan manajemen, perolehan penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan dan tidak dimiliki oleh peternak, serta akses pemasaran susu sapi perah miliki peternak. Premisti, dkk (2016) melaporkan bahwa adanya KUD Cepogo mampu mempersingkat saluran pemasaran menjadi Peternak -> KUD Cepogo -> IPS (Konsumen) sehingga marjin pemasaran tidak terlalu tinggi yaitu sebesar Rp 600 dan keuntungan yang didapat oleh petani lebih besar jika dibandingkan tanpa ada KUD Cepogo.

Penutup

Kesimpulan dari pembahasan di atas meliputi:

  1. Perubahan kultural dan struktural petani, perubahan prefrensi konsumen dan standar pasar, kerusakan iklim, hingga alih fungsi lahan merupakan tantangan petani selama beberapa tahun ke belakang. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan sebagai paradigma baru dalam pengembangan pertanian merupakan harapan petani dalam meningkatkan kesejahteraannya, dimana dalam pelaksanaannya pembangunan pertanian harus meninjau aspek pembangunan ekonomi, sosial, dan ekologi sehingga petani dapat terus berproduksi dengan mudah dan berkelanjutan.
  2. Agribisnis bisa menjadi acuan untuk mengimplementasian paradigma Pembangunan Pertanian Berkelanjutan, dimana setiap komponen yang ada di dalamnya saling berhubungan dan saling berinteraksi sebagai sistem yang meliputi komponen input, proses, dan output dari usaha pertanian. Artinya, petani tidak harus terpusat pada kegiatan budidaya untuk memproduksi secara maksimal, namun juga memperhatikan efisiensi sarana produksi dan pengolahan pasca panen sehingga mendapatkan hasil yang maksimum dengan modal minimum. Mengingat pertanian di Indonesia didominasi oleh pertanian rakyat (usahatani) sehingga pelaksanaan agribisnis seringkali tidak dapat dilaksanakan oleh petani secara penuh sehingga petani memerlukan mitra untuk menunjang modal sarana produksi. Namun kemitraan yang terjalin antara petani dengan pihak lain seringkali merugikan petani, sehingga diperlukan pendekatan cooperative farming, yaitu kegiatan usahatani berbasis organisasi terintegrasi yang dikelola oleh petani secara langsung.
  3. Cooperative farming merupakan model pemberdayaan petani yang dilakukan melalui kelompok meliputi upaya rekayasa sosial, ekonomi, teknologi, dan nilai tambah yang berusaha membantu petani dalam mengakses modal sarana produksi, pengolahan pasca panen, layanan pengembangan dan informasi, serta akses pasar, tanpa konsolidasi lahan sehingga tidak merugikan petani yang tidak memiliki lahan.
  4. KUD Cepogo sebagai salah satu contoh lembaga pertanian berbasis cooperative farming memiliki peran dalam: 1) memberikan berbagai layanan pendukung sarana produksi, mulai dari peminjaman kredit modal, bimbingan serta kemampuan teknis pada produksi dan manajemen; 2) perolehan penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan dan tidak dimiliki oleh peternak; 3) akses pemasaran susu sapi perah miliki peternak yang dikumpulkan secara kolektif; 4) pengolahan pascapanen, termasuk logistik. KUD Cepogo juga berperan dalam memperpendek marjin pemasaran dengan total sebesar Rp 600 dari peternak ke IPS (konsumen akhir).

Pesan Penulis

  1. Untuk terus mensejahterakan petani rakyat dengan konsep profit oriented dapat dilakukan dengan model cooperative farming. Indonesia yang memiliki beragam kearifan lokal memiliki potensi komoditas tersendiri untuk dikembangkan sehingga menghasilkan nilai ekonomi tambah.
  2. Bagi mahasiswa pertanian, pendekatan cooperative farming mungkin dapat dilakukan untuk membentuk badan usaha desa berwawasan agribisnis dengan mengangkat komoditas unggulan.
  3. Akhir kata, Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran membangun sangat diharapkan demi perbaikan artikel ini.

Refrensi

  1. Aini, A. N., Syaukat, Y, dan Riftin, A. 2016. Peran Koperasi terhadap Penurunan Biaya Transaksi Usaha Ternak Sapi Perah di Kabupaten Boyolali. J. Argo Ekonomi, 35(2): 123-133.
  2. Arifin, & Biba, M. A. (2016). Pengantar Agribisnis. Bandung: Mujahid Press.
  3. Badan Pusat Statistik. 2019. Impor Kedelai Menurut Negara Asal Utama tahun 2020-2019. [serial online]. https://www.bps.go.id/statictable/2019/02/14/2015/impor-kedelai-menurut-negara-asal-utama-2010-2019.html. [diakses 17 Juni 2020].
  4. Jumiati E.,Darwanto, , D. H., Hartono S., dan Masyhuri. 2013. Analisis Saluran Pemasaran Dan Marjin Pemasaran Kelapa Dalam di Daerah Perbatasan Kalimantan Timur. AGRIFOR, 12 (1): 1-10.
  5. Kadry, R., Pratiwi, E., Syaifudin, A. 2013. Akselerasi Operasional Warehouse Receipt Integrated System (WRIS) Islamic Microfinance, Upaya Meningkatkan Permodalan Dan Pendapatan Pertanian Di Indonesia (Pendekatan Cooperative Farming). EKBISI, 8(1): 75 -- 82.
  6. Nuryanti, S. 2005.  Pemberdayaan Petani Dengan Model Cooperative Farming. Analisis Kebijakan Pertanian, 3(2): 152-158.
  7. Patra, N. E. 2017. Dampak Revolusi Hijau pada Masa Orde Baru di Kabupaten Gunungkidul Tahun 1971-1976. Skripsi. Diterbitkan. Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta.
  8. Premesti, P. U. L., Setiadi, A., dan Sumekar, W. 2016. Pemasaran Susu di Kecamatan Mojosongo dan Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. MEDIAGRO, 12(1): 27-34.
  9. Rahayu, E. T. 2013. Analisis Pendapatan Usaha Ternak Sapi Perah di Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. Sains Peternakan, 11(2): 99-105.
  10. Rivai, R. S., & Anugraha, I. S. (2011). Konsep dan Implementasi Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di Indonesia. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 29, 13-25.
  11. Suseno D. dan Suyatna H. 2007. Mewujudkan Kebijakan Pertanian yang Pro-Petani. jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 10(3): 267-294.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun