Mohon tunggu...
Muhamad WahyuSaputra
Muhamad WahyuSaputra Mohon Tunggu... Ilmuwan - Seorang yang berusaha kritis

Mahasiswa Pertanian yang senang menulis artikel lepas

Selanjutnya

Tutup

Money

Model Cooperative Farming dalam Usaha Pertanian Rakyat sebagai Kunci Kesejahteraan Petani

18 Juni 2020   19:35 Diperbarui: 18 Juni 2020   19:41 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Kerangka Segitiga mengenai konsep Pembangunan Berkelanjutan (Rivai dan Anugraha, 2011) | dokpri

Agribisnis bisa menjadi acuan untuk mengimplementasian paradigma Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Arifin dan Biba (2016) juga menjelaskan aplikasi agribisnis berjalan dalam sebuah sistem, dimana setiap komponen yang ada di dalamnya saling berhubungan dan saling berinteraksi. Agribisnis sebagai sistem meliputi komponen input, proses, dan output dari usaha pertanian. Pola pertanian agribisnis merupakan upaya yang sesuai untuk mencapai tujuan dari Pembangunan Pertanian Berkelanjutan baik secara ekonomi, ekologi, maupun sosial.

Mengingat bahwa model pertanian rakyat sering terjadi keterbatasan modal usaha, baik dalam produksi maupun perlakuan pasca panen, oleh karena itu supaya produk benar-benar bisa dinikmati oleh konsumen, petani membutuhkan pihak lain yang mampu memberikan layanan modal (bermitra). Sebagian besar petani kecil di Indonesia dalam usahatani menerapkan sistem pertanian subsisten, yaitu memanfaatkan hasil budidaya untuk konsumsi dirinya dan keluarga, apabila sisa akan dijual kepada pengepul, yaitu pihak yang mampu menampung hasil panen petani dan bertujuan menjualnya kembali kepada konsumen akhir. 

Mengingat kegiatan budidaya pada komoditi padi dilakukan paling cepat selama 90 hari, petani akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup apabila petani tidak mencari pekerjaan sampingan, selain itu keuntungan dari penjualan beras kurang menguntungkan petani karena sistem distribusi atau pemasaran produk pertanian yang rumit dan memakan biaya distribusi yang besar menyebabkan kerusakan penentuan harga pasar antara petani sebagai produsen dan konsumen. 

Selain itu petani juga tidak bertatapan langsung dengan konsumen akhir, sehingga petani tidak sepenuhnya berperan dalam penentuan harga. Jumiati (2013) dalam penelitiannya memaparkan bahwa semakin panjang pola distribusi produk pertanian semakin kecil pula keutungan yang diterima pertani. Selain itu, sering kali tidak ada tranparasi kondisi pasar antara distributor dengan petani, sehingga petani bisa dengan mudah menjual produknya dengan harga murah kepada distributor. Akibatnya, harga beli komoditi pada tingkatan konsumen akhir jauh lebih tinggi daripada harga jual di tingkat petani. Untuk mendapatkan profit maximization atau keuntungan maksimal petani harus hadir pada setiap subsistem agribisnis, mulai dari manajemen produksi hingga manajemen pemasaran untuk konsumen.

Berdasarkan konsep efisiensi produksi usahatani, petani kecil seringkali berpedoman pada bagaimana memperoleh keuntungan pada sumber daya yang terbatas. Konsep tersebut hampir sama dengan konsep profit maximization dan cost minimization yang sering digunakan oleh petani skala besar, yaitu bagaimana mendapatkan keuntungan yang maksimal dengan hasil yang minimal. 

Perbedaan penerapan konsep efisiensi produksi usahatani antara petani kecil dan petani besar adalah cakupan sumber daya yang dimiliki. Petani skala besar pada dasarnya mampu mencukupi setiap kebutuhan modal yang diperlukan untuk mencapai hasil produksi maksimum, berbeda dengan petani kecil yang memiliki keterbatasan modal produksi untuk mencapai produksi maksimum yang menyebabkan petani kecil kurang sejahtera. Efisiensi produksi untuk mewujudkan konsep profit maximization dan cost minimization terutama pada petani kecil dapat dilakukan dengan pendekatan cooperative farming, yaitu kegiatan usahatani berbasis organisasi terintegrasi.

Konsep Cooperative Farming

Nuryanti (2005) menjelaskan bahwa cooperative farming merupakan model pemberdayaan petani yang dilakukan melalui kelompok meliputi upaya: 1) rekayasa sosial, bertujuan untuk penguatan kelembagaan tani, penyuluhan, dan pengembangan SDM; 2) rekayasa ekonomi, bertujuan untuk mengambangkan akses permodalan untuk pengadaan saprodi dan akses pasar; 3) rekayasa teknologi, bertujuan untuk mengembangkan penggunaan teknologi budidaya yang sesuai dengan faktor sosial dan lingkungan budidaya; dan 4) rekayasa nilai tambah, bertujuan mengambangkan usaha off farm yang terkoordinasi secara vertikal dan horisontal antara petani dan stakeholder pendukung.

Dalam implementasinya penerapan model cooperative farming berarti para petani tergabung dalam suatu organisasi yang dalam kegiatan usahatani menerapkan model semi korporasi pada kegiatan budidaya dan tanpa melakukan konsolidasi lahan pertanian, sehingga petani secara penuh menguasai lahan dan memungkinkan petani buruh mengerjakan lahan orang lain. 

Pada dasarnya model pertanian cooperative farming menekankan kepada kegiatan korporasi dalam penyediaan modal produksi dan akses pasar produk pertanian yang terintegrasi melalui suatu manajemen kelompok yang anggotanya merupakan petani (kelompok tani) selaku pelaku usahatani. Kondisi tersebut memungkinkan petani kecil mendapatkan akses modal dengan mudah serta pemberdayaan terhadap kegiatan usahatani yang berpedoman terhadap konsep profit maximization dan cost minimization.  

Lebih lengkap Nuryanti (2005) menjelaskan mekanisme kerja cooperative farming pada usahatani padi, meliputi: 1) Lembaga keuangan yang merupakan pihak swasta melakukan investasi modal Sarana Produksi (Saprodi) kepada petani seperti pupuk, benih, hingga teknologi pasca panen (mesin penggiling); 2) Petani memanfaatkan modal sarana produksi budidaya seperti benih dan pupuk untuk melakukan kegiatan usahatani; 3) ketika masa panen tiba, petani yang tergabung dalam kelompok tani melakukan pengolahan pasca panen terpadu dengan sarana produksi yang difasilitasi oleh mitra; 4) petani mendapatkan akses pasar langsung dari mitra dan secara periodik usahatani diawasi dan dievaluasi oleh perbankan; 5) di sini, pemerintah berperan aktif sebagai fasilitator kemitraan dan katalisator antara kelompok tani dengan pihak swasta.

Pada implementasinya juga petani akan mendapatkan bimbingan terpadu dalam kegiatan budidaya untuk menghasilkan produk pertanian yang berkualitas dan sesuai standar pasar. Sumber modal sarana produksi tidak selalu berasal dari pihak swasta, namun juga dapat berasal dari pemerintah, institusi pendidikan, hingga hibah dari pihak lain, yang selanjutnya dikelola oleh kelompok tani sebagai "motor" dalam pengadaan dan manajemen sarana produksi serta akses pasar agar untuk anggotanya. Kemitraan antara kelompok tani dan pihak swasta yang hendak berinvestasi juga tidak ditetapkan secara sepihak. Selain itu, pemberdayaan yang dilakukan oleh mitra yang melakukan investasi juga akan dilakukan secara vertikal down-to-top, yaitu  pemberdayaan berdasrkan kondisi lapangan yang ada pada lahan petani serta aspek sosial budaya dan ekologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun