Mohon tunggu...
Wh Nugroho
Wh Nugroho Mohon Tunggu... -

anak yang selalu bertanya pada bapaknya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gerhana di Atas Flyover Ciledug

12 April 2011   09:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:53 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nampaknya malam ini angin enggan untuk bercerita apalagi tinggal dan bercengkerama. Tak sedikitpun ia melintas atau sekedar menyapa lewat hembus dingin malam seperti biasanya. Kemarin lusa ia malah sempat singgah untuk menemani dan melihat lenggokan ilalang liar yang menari di seberang sungai. Namun malam ini hanya aku yang menatap segerombolan ilalang yang juga terpaku seperti aku.

Langit pun seperti tak mau bersahabat dengan ku malam ini. Ia menggayutkan mendung di hamparan luas yang biasanya dihiasi warna biru terang yang ceria. Apa ia juga tahu suasana hatiku? Dan ia ingin memberi tahu bahwa ia juga ikut merasakan apa yang aku rasakan.

Kemarin Aira menangis, serta melepas pelukanku dan berlari menjauh. Aku tidak tahu apa yang sedang ia rasakan hari itu. Padahal sesaat lalu aku melihat senyum dan lesung pipitnya masih menghiasi wajah mungilnya. Namun kemudian ia meteskan air sebutir demi sebutir bak mutiara yang bergulir. Tak ada kata yang terucap dari bibirnya, tak pula ada keluh yang keluar dari mulutnya.

Aku hanya mampumemandang jauh kepergiannya. Tanpa sanggup aku menahan, tanpa bisa aku meraih, dan tanpa mampu aku mengatakan jangan! “ Jangan kau pergi, saat hatimu masih disini. “

Pintu kost masih tertutup ketika aku sampai di depannya. Hanya tirai tipis yang terlihat menutup jendela yang sedikit terkuak. Tidak seperti biasanya rumah ini sepi seperti tak berpenghuni. Padahal biasanya ramai, riuh oleh canda para penghuni kost yang semuanya perempuan.

“ Aira ada?”Tanyaku pada seorang perempuan yang sedang merapikan rumput di halaman samping.

“ Aira. Aira yang mana ya?” Malah ia ganti balik bertanya.

“ Emmm… Aira yang tinggal satu kamar sama Mala. Itu lho yang kost di kamar depan.” Kataku sambil menjelaskan.

“ Oh, Aira yang rambutnya panjang. Dia kemarin bilang katanya mau pulang.”

Memangnya ada berapa nama Aira sih di rumah ini.

“ Apa ia menitipkan sesuatu?”

“ Enggak Mas. Dia cuma bilang mau pulang sebentar, katanya sih mumpung cuti kuliah.”

“ Cuti kuliah? Tapi dia tidak pernah mengatakan apa – apa, apalagi bilang mau cuti kuliah.”

Aku makin dibuat penasaran dengan kata – kata perempuan tadi. Tapi, mungkin benar Aira ambil cuti kuliah namun belum sempat mengatakannya padaku.

Hampir satu bulan aku tidak bisa menghubungi dia. Aku juga sulit mencari informasi tentang Aira dari teman – teman di kampus. Mala yang biasanya terbuka tentang Aira, kali ini membisu seolah lidahnya kaku membeku. Entah apa yang disembunyikan Aira terhadapku.

Apakah pertengkaran malam itu? Bukankah aku telah meminta maaf, dan mengakui itu sebagai kekhilafanku. Mungkin malam itu aku terlalu emosi dan terlalu memegang ego pribadiku sehingga sempat sebuah kata yang tidak pantas meluncur dari mulutku yang aku lontarkan kepadanya. Malam itu juga aku menyesali dan meminta maafkepadanya.

Seandainya itu sebuah kesalahan besar, biarlah aku menebusnya sampai aku bisa menemuinya. Meski sebenarnya, aku tak bisa lama jauh dari dia.

“ Aira.”

Aku mendengar nama itu disebut dari arah seberang kantin. Dan aku melihat seseorang berlari serta memeluk sosok perempuan yang ia sebut Aira. Tapi, dia bukan seperti Aira yang aku kenal. Apa ia anak baru di kampus ini?

“ Aira. Aira…”Aku mendesah menyebut namanya dalam hati.

Tapi perempuan yang menghampirinya Mala. Dan teman Mala yang bernama Aira cuma Alfira Rahma Handayani, ya cuma dia perempuan yang menjadi teman dekat Mala. Mengapa Aira berubah secepat ini, tubuhnya terlihat kurus, wajahnya pucat, dan kenapa pula rambutnya yang panjang menjuntai ia potong? Adakah sesuatu yang menyebabkan hal ini terjadi. Adakah jawaban atas semua rasa penasaranku atas kepergiannya selama ini. Adakah penjelasan atas segala yang terjadi dan alasan mengapa ia pergi dengan tiba – tiba. Dan yang pasti, apakah aku bisa mendapat kepastian ini secepat yang aku harapkan.

Aku mendekati Mala yang sedang duduk di bangku taman. Terlihat sebuah buku sedang sibuk ia buka lembar demi lembar. Dan di sampingnya segelas minuman dingin setia menemani.

“ Mala.” Lirih aku memanggilnya. Aku takut kalau sampai aku mengganggu konsentrasi dia. Mala menengok dan menatapku dengan tajam. Aku tidak tahu apa yang ada dalam benak Mala saat ini, yang jelas dia menatap aku seperti seekor srigala lapar yang menghadapi mangsanya. Taringnya siap mengoyak dagingku dan kuku tajamnya siap merobek kulitku jika aku bergerak sedikit. Namun dia berucap dengan nada yang lembut. Aku tak mengerti ada apa dengan semua ini. Dia menatap begitu tajam namun berkata pelan.

“ Hey, ada apa Ad?”

“ Maaf Ma, kalau aku sudah mengganggu. Aku cuma ingin tahu soal Aira.”

“ Aira, memangnya ada apa dengan Aira, Ad ? ”

Aku malah semakin penasaran dengan jawaban Mala, karena tak mungkin Mala tidak tahu keadaan Aira saat ini. Apalagi Aira adalah teman dekatnya. Aku semakin yakin ada sesuatu yang disembunyikan Mala dariku, entah itu atas permintaan Aira atau memang inisiatif dia untuk menyembunyikanapa yang terjadi pada Aira dariku.

“ kamu pasti tahu keadaan Aira kan Ma ?”

Aku memutus sejenak pertanyaanku. Karena aku tidak mau Mala semakin menutup diri dan tidak mau mengatakan kondisi Aira yang sebenarnya.

“ Ma, kamu teman dekat dia. Kamu pasti tahu dong kondisi dia saat ini. Aku cuma ingin tahu soal Aira, karena beberapa waktu ini dia selalu menghindari aku. Dia selalu menjauh setiap kali aku dekati. Please Ma, tolong kasih tahu aku, apa sih yang membuat Aira seperti itu? ”

“ Aira tidak kenapa – kenapa Ad. Memangnya kalian ada masalah, bukankah hubungan kalian selama ini baik – baik saja? “

Mendengar jawaban Mala seperti itu jelas ada sesuatu yang disembunyikan Mala tentang Aira dari aku. Mala tak mungkin tidak tahu kondisi hubungan Aku dengan Aira. Apa begitu beratnya beban yang harus ia tanggung seandainya dia harus memberi tahu aku soal kondisi Aira.

Lama aku diam, karena aku tidak bisa mendapat jawaban yang membuatku percaya. Aku menarik nafas panjang dan menghelanya pelan – pelan, mencoba meringankan dada ini yang terasa sesak setelah mendapat jawaban Mala. Mataku jauh memandang ke depan, entah apa yang aku lihat aku sendiri tidak tahu. Yang bisa aku pahami saat ini hanya keinginan untuk bisa mendapat kepastian tentang Aira dari mulut Mala. Agar perasaan batin ini tidak semakin tersiksa.

Untuk kesekian kalinya aku mencoba memohon pada Mala. Dan akhirnya Mala mau bercerita tentang keadaan Aira yang sebenarnya. Seperti ada kilat menyambar di samping telingaku setelah Mala menceriterakan kondisi Aira saat ini. Nafas ini terasa semakin sesak dan kaki ini terasa begitu berat sehingga aku tak kuasa lagi untuk menahan beban tubuhku yang tak seberapa, aku terduduk, tak ada bayang sedikitpun yang melintas dalam pikiranku. Aku hanya mampu diam dan terus terdiam dan hanya mampu meneteskan butir demi butir kesedihan dari mataku. Begitu acuhkah aku pada Aira sampai – sampai aku tidak tahu keadaan Aira yang sesungguhnya, karena yang aku tahu dan aku rasakan hanya tawa ceria serta senyum manja yang ia berikan setiap waktu untukku. Tak pernah ia mengeluh, dan tak pula ia mengaduh saat bersamaku. Aira, begitu tulusnya engkau memberi kasih itu padaku sehingga kau tak pernah menginginkan aku bersedih. Mala pergi meninggalkan aku yang masih terdiam.

Aira. Aku coba memanggilnya, tapi dia mengacuhkan panggilanku. Seolah ia tak mendengar suaraku. Aku coba memanggilnya lagi serta aku kejar dan aku raih tangannya dari belakang. Aira. aku tatap wajah perempuan itu sambil tetap aku genggam tangannnya.

“ Aira. Tolongdengarkan aku Aira. “

“ Aira, aku tahu mungkin aku telah salah terhadapmu, tapi tolong dengar aku. “

Aira menarik tangannnya, dan menempelkan telunjuknya di bibirku.

“ Mas, Mas Adi tidak pernah salah soal apapun terhadapku. Jadi tak perlu ada penjelasan atau permintaan maaf dari Mas Adi untukku. “

“ Tapi…”

Aira memutus perkataanku dengan mengisyaratkan aku untuk tetap diam.

“ Mas Adi. Aku tahu Mas begitu sayang terhadapku, begitu juga aku Mas. Jadi tak perlu ada yang harus dipertentangkan lagi tentang hubungan kita. Karena hubungan kita selama ini baik – baik saja. “

“ Aku tahu, tapi ada satu hal yang ingin aku tanyakan kepadamu. “

“ Soal apa Mas? ”

“ Soal sikap kamu belakangan, dan soal cerita Mala tentang kamu. “

“ Mala. Dia cerita apa tentang aku? “

“ Soal sakitmu. Apa benar kamu punya penyakit seperti yang di katakana Mala? “

Wajah yang sesaat lalu masih sempat aku lihat memancarkan kecerahan tiba – tiba meredup dan tertunduk. Lama ia tertunduk, dan dengan nada yang berat ia berucap.

“ Kalau Mas Adi ingin tahu yang sebenarnya nanti akan aku ceritakan. Tapi bukan saat ini Mas. Saat ini biarlah aku menjalaninya seperti ini. “

Aku raih kembali tangan itu yang sesaat sempat terlepas. Aku dekatkan hingga jari jemari itu menyentuh dadaku. Tangan itu terasa begitu dingin, seolah tak ada darah yang mengalir.

Kalau bukan sekarang, lalu kapan aku bisa mendengar penjelasan dari Aira. Dalam hati aku bertanya – tanya. Sudahlah, untuk saat ini yang terbaik adalah tetap membiarkan Aira tersenyum.

Sebuah pesan pendek masuk ke HP-ku. Pesan dari Aira.

“ Mas, tolong Mas Adi datang ke kostku sekarang. “

Ada apa dengan Aira. Apa ada sesuatu yang terjadi dengan Aira sehingga aku harus buru – buru kesana? Atau ia cuma ingin bertemu karena memang beberapa waktu ini jarang bertemu?

Aku segera meluncur, aku ingin segera tahu dan membuang jauh – jauh semua bayang – bayang dan pikiran yang terus menggangguku.

“ Kenapa, memangnya ada apa?”

“ Mas. Aku bisa minta tolong sama Mas untuk mengantarkan aku pulang ke Bogor?”

“ Sekarang? “

“ Ya. “

“ Tapi ini sudah malam, pasti sampai di rumah sudah larut. “

“ Aku tahu Mas, tapi aku sudah berjanji sama Ibu untuk pulang hari ini. “

Sebenarnya aku bukannya tidak mau mengantarkan dia pulang. Perjalanan ke Bogor tak cukup 30 menit saja, paling tidak 1.5 atau 2 jam itu juga kalau ditempuh dengan motor baru. Sementara aku harus mngantar dengan Vespa bututku.

Sebenarnya aku tidak tega dengan kondisi dia saat ini, tapi dia terus memaksa akhirnya dengan terpaksa aku menuruti keinginannya.

Dengan perlahan aku tinggalkan rumah kost dan aku susuri serta aku tembus pekatnya malam kota Tangerang. Bukan karena tak ada lampu penerang jalan, tapi karena bulan yang bersinar tidak begitu terang. Tepat di atas flyover ada yang semakin aneh dari diri Aira. Tangannya terasa begitu dingin dan….

“ Mas. Bisakah Mas menepi sebentar? “ Tiba – tiba Aira memintaku untuk menghentika laju motorku.

“ Bisa. Tapi ini kan masih di atas flyover? “

“ Aku cuma ingin melihat bulan dari atas sini. “

Untung malam itu kondisi jalan cukup sepi jadi aku bisa menepikan motorku.

“ Mas. Sebelum kita sampai di Bogor, aku ingin menikmati malam ini bersama. Menikmati indahnya bulan malam ini berdua. “

“ Kamu ini bicara apa, kita pasti akan menikmati indahnya malam, siang, terus bersama, selalu bersama, dan akan selalu bersama. “

Perlahan tangan Aira merogoh kantong jaketnya, serta mengeluarkan secarik kertas yang terlipat.

“ Mas. Aku ingin memberikan ini untukmu. Di dalam kertas ini akan menjawab semua pertanyaan – pertanyaan Mas selama ini tentang aku. Disini juga ada permintaan maafku atas sikapku selama ini. “

Belum sempat ia mengulurkan kertas itu tiba – tiba aku melihat ada darah yang mengalir dari dalam hidung Aira. tubuhnya semakin pucat dan lemas.

“ Aira. Aira. “ aku raih dan aku peluk perempuan yang sangat aku sayangi.

Aku peluk dan terus aku dekap tubuh Aira dengan perasaan yang begitu hancur dan pedih.

“ Mas jangan sedih. Aku tidak kemana – mana, aku akan selalu bersama Mas kemanapun Mas pergi. Mas, aku hanya ingin tidur dan istirahat sejenak karena aku capek, aku lelah Mas. Jadi Mas jangan menangis. “

Aku tak mampumenahan air mataku yang terus mengalir. Saat tangan itu masih sempat mengusap wajahku dan menyeka air mataku sebelum akhirnya dia pergi.

Malamku semakin gelap, hatiku semakin pekat. Purnamaku tak lagi bersinar, bintangku tak lagi berpijar. Orang yang sangat aku sayangi, wanita yang aku kasihi pergi di atas pangkuanku. Selamat jalan sayang, mungkin kebahagiaan sejatimu bukan bersamaku, tapi cinta yang kau tabur akan terus berbunga menghiasi hati ini. Dan cintaku akan mengalir bersama kesetiaanmu.

&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun