Mohon tunggu...
Whiskey Sierra
Whiskey Sierra Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan Profil

sebuah tulisan anonim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menikahkan Agama dan Sains?

20 Agustus 2020   12:28 Diperbarui: 23 Agustus 2020   08:13 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak Desember 2019, dunia dikejutkan oleh timbulnya suatu jenis virus baru yang belum ditemukan obatnya. Jutaan bahkan mungkin milyaran orang panik. Tanpa menyadari bahwa ada mekanisme pertahanan diri tersembunyi dalam tiap entitas di bumi ini.

Tanpa ada maksud sedikitpun melawan titah yang terhormat penguasa negara Republik Indonesia. Sangat disayangkan anjuran yang lebih tersohor di khalayak adalah penggunaan masker dan penjagaan jarak bersosial.

Tidak ada yang salah dengan itu. 

Namun pertanyaan yang meresahkan saya dalam mengutamakan hal tersebut adalah, "Mengapa memperkuat imunitas diabaikan dan tidak menjadi anjuran utama?"

"Hati yang gembira adalah obat yang manjur" tertulis dalam salah satu kitab orang Nasrani.

"Ketahuilah, di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, baiklah tubuh seluruhnya, dan apabila daging itu rusak, rusaklah tubuh seluruhnya. Ketahuilah olehmu, bahwa segumpal daging itu adalah qalbu(hati)" tertulis dalam hadist HR Bukhari.

Didukung oleh para peneliti yang saya kutip dari artikel Kompas berikut.

Ternyata dalam hal imunitas ditopang kebahagiaan, agama dan ilmu pengetahuan bisa berjodoh. 

Di sisi lain.

Para oknum perusak keharmonisan, menuduh sains menjadi dalang yang mengacau rutinitas keagamaan. Pun sebaliknya. Oknum yang mengaku berintelektual menuduh oknum nakal nan radikal menjadi dalang penyebaran virus yang tak terbendung. Saya menggunakan kata oknum beberapa kali untuk terus menekankan bahwa kegaduhan dari situasi ini hanya disebabkan oleh oknum tertentu.

Perpecahan yang ditimbulkan, hanya semakin merengut kebahagiaan. Pertahanan tubuh dalam peperangan dengan virus ini pun semakin melemah. Belum lagi dengan bercanda yang membuat bahagia justru dihujat. Solusi memperkuat imun dengan rempah-rempah dianggap rendah. Mengapa? Apa karena peneliti mancanegara belum mendeklarasikan khasiat manfaatnya?

Padahal ratusan tahun bangsa asing memperebutkan rempah-rempah di salah satu tanah tersubur di dunia, negara kita ini. Sementara bangsa kita meragukan akan khasiatnya. Hanya karena bangsa lain tidak memilikinya.

Mungkin kita lupa sejarah.

Namun kita sudahi saja saling menyalah.

Sekarang saatnya fokus ke solusi selaras. Salah satu yang menikahkan kerohanian dan sains..

Yuk kita bahagia.

Karena bahagia itu sederhana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun