Sedih.... Mungkin itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan bagaimana bentuk perasaanku saat itu. Â Aku tak tahu, dengan cara bagaimana aku harus mengungkapkan rasa hatku ini ketika ia benar-benar pergi meninggalkanku. Namun aku tetap harus merelakan ia pergi karena ia harus memiliki masa depan yang lebih baik ketimbang ia harus memilih aku sebagai pendamping hidupnya nanti. Dan kenyataannya, ia memang pergi dari kehidupanku.
                                        *******
Gemercik air sungai yang mengalir mengikuti arus menuju muara terdengar begitu merdu ditelinga. Semilir angin bertiup lembut menerpa dedaunan kering yang telah rapuh. Helai demi helai daun-daun kering terbang melayang terlepas dari rantingnya dan jatuh dengan lembut ke tanah. Â Sinar mentari bersinar tidak segarang biasanya. Ia nampak sedikit redup seolah enggan untuk menampakan gairahnya.Â
Hanya sebagian kupu-kupu yang berterbangan yang seolah tak acuh dengan suasana sekitar. Mereka terlihat tetap ceria dengan kepakan sayapnya yang gemulai. Seekor kupu-kupu hinggap diatas bunga candytuft liar dan dua ekor lainnya mengikuti jejak temannya.
Entah berapa lama aku duduk di sana dan tanpa sadar aku terus menerus memperhatikan kupu-kupu itu. Â "Kamu nampak indah ketika menjalani kehidupan sebagai kupu-kupu, tapi aku tak tahu bagaimana tampangmu ketika menjalani kehidupan sebagai ulat" Batinku menggumam. Lalu aku teringat akan diriku yang sedang asyik duduk berdua dengan Mirna, kekasihku. Sekarang, aku duduk sendiri tanpa ada kekasihku. Dengan hadirnya Mirna disisiku, kehidupanku selalu merasa ceria. Tapi kini...akupun tak tahu tampangku seperti apa tatkala aku duduk sendiri.
Oh, Mirna... seandainya kau masih disini, duduk disampingku ini, merasakan suasana saat ini seperti setahun yang lalu, mungkin aku tidak merasa kesepian. Â Masih sangat jelas dalam ingatanku, saat kau bersandar dipundakku, kau bercerita tentang sekolahmu, tentang gurumu, tentang teman-temanmu. Aku dengan sangat senang mendengarkan celotehanmu. Aku ingin menunjukkan padamu, betapa aku sangat memperhatikanmu. Aku begitu senang mendengarkan nyanyian kecilmu yang seolah berbisik padaku, sampai akhirnya kau mengatakan suatu hal yang bagiku sangat mengejutkan.
"Mas, kita kawin lari, yo...!!! Â Ajak Mirna disuatu hari. Aku terkejut dan seolah tak percaya akan pendengaranku sendiri.
"Maksud kamu ?" Tanyaku.
"Kedua orang tuaku tak setuju dengan hubungan kita, mas tapi aku gak peduli, aku ingin tetap menikah denganmu, makanya aku mengajakmu untuk kawin lari saja." Jelasnya dengan wajah mulai murung.
"Tidak... Aku tidak setuju dengan caramu itu, Mirna." Ucapku menolak ajakannya.
"Lalu bagaimana ? Aku tak ingin pisah denganmu, mas.." Desaknya pula. "Dan aku tak mau menikah dengan laki-laki pilihan orang tuaku." Lanjutnya.
Aku bingung dan seperti kehabisan ide untuk memecahkannya. Pelan-pelan aku mulai menyadari siapa aku dalam pandangan kedua orang tua Mirna. Aku memang bukanlah apa-apa di mata mereka. Dan secara perlahan pula, diam-diam, orang tua Mirna mulai memisahkan aku dengan Mirna. Aku dan Mirna mulai jarang bertemu. Aku sangat mencintai Mirna, tapi aku juga tak bisa hidup dengan Mirna tanpa restu dari orang tuanya. Walau dengan berat hati, aku terpaksa harus melepas kepergian Mirna dari kehidupanku.
"Mirna, aku percaya kalau kau mencintaiku dan kau juga percaya, betapa aku sangat mencintaimu... tapi apa daya, tembok kokoh yang menghalangi cinta kita berdua tak mungkin dapat menyatukan hati kita..." Kataku disuatu kesempatan ketika bertemu.
"Maksud mas Andri ?" Tanyanya dengan sorot mata yang tajam.
"Begini saja, Mir...Kita jalanin saja dulu secara diam-diam. Jika kamu tidak suka dengan laki-laki pilihan orang tuamu, cobalah kamu kenali dulu dia. Seandainya dia memang baik dan juga mencintaimu, tak apa-apa, terimalah dia !" Ujarku.
Tidak... aku tidak mau !" Tegasnya. Dan matanya mulai berkaca-kaca.Â
"Dengar dulu penjelasanku !"Â
"Enggak...pokoknya aku gak mau."
"Mirna, dengar aku Mir... Dulu kamu juga tak pernah mencintaiku tapi setelah kenal dan dekat, kamu bisa menerimaku. Nah, sekarang apa bedanya dengan laki-laki pilihan orang tuamu itu..." Aku berusaha membujuk dan meyakinkan Mirna untuk mau menerima laki-laki pilihan orang tuanya meskipun hatiku tersayat-sayat. Dan Mirna semakin terisak. Aku memeluk dan mengusap-usap punggungnya menenangkan hatinya.
Tiga bulan dari semenjak pertemuan itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengan Mirna. Tak kudengar lagi bagaimana kabar darinya. Suatu hari aku ditemui kakak perempuannya dan menyerahkan sepucuk surat undangan dari Mirna. Undangan pernikahan dia dengan laki-laki pilihannya sendiri, bukan pilihan orang tuannya dan juga bukan aku, Andri....
*****selesai*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H