Sangat menarik membaca tulisan kompasianer Don Zakiyamani tentang UMP (Upah Minimum Pengusaha). Memang di satu sisi, buruh lebih memerlukan upah yang lebih layak dari apa yang telah mereka terima selama ini, namun di sisi lain, pengusaha juga ingin meraih pendapatan dari omzetnya lebih besar. Pada dasarnya, kedua belah pihak sama-sama saling membutuhkan. Buruh membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan seangkan pengusaha membutuhkan pekerja (buruh) untuk menjalankan roda perusahaannya.
Hal ini sangat berbeda dengan pribadi saya yang bekerja sebagai tenaga Satuan Pengamanan (Satpam) di salah satu instansi pemerintah Kabupaten, di mana posisi saya hanyalah tenaga kerja sukarela atau yang lebih dikenal dengan sebutan TKS dengan upah Rp 1.200.000 tok, tidak ada apa-apa lagi dan tanpa fasilitas apapun dengan jam kerja 12 jam. Satu shift-nya hanya 1 orang.
Entah berapa anggaran yang diberikan oleh Pemda, saya tidak tahu. Tetapi yang saya herankan, mengapa hanya sebuah galon air saja tidak mampu membelikan untuk tenaga kerjanya meskipun pekerjanya itu hanyalah TKS? Pertanyaan saya; apakah seorang TKS tidak layak diberi fasilitas meskipun hanya sebuah galon air? Haruskah security yang notabene adalah seorang TKS (non PNS) yang bekerja di kantor Dinas itu diperlakukan seperti si "pluto" dalam film kartun...? Sangat ironis dengan PNS yang bergaji besar plus Tunjangan Daerah.
Jika saja gaji TKS itu mengacu pada UMK (Upah Minimum Kabupaten), hal itu merupakan anugrah besar untuk saya dan rekan-rekan lain yang senasib dengan saya.
Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Bab I Pasal I ayat 1: "Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja."Â
Ayat 2: "Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat."Â
Ayat 3: "Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain."Â
Ayat 4: "Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan tenaga kerja dengan memberi upah atau imbalan dalam bentuk lain."
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pada Bab I tersebut di atas, keempat ayat yang tertuang itu, memang sudah terpenuhi antara saya sebagai pekerja dan badan dimaksud yang mempekerjakan saya di mana saya bekerja. Akan tetapi upah yang diterima sangatlah minim, Rp1.200.000 (Satu Juta Dua Ratus Ribu Rupiah). Adakah Upah Minimum Kabupaten atau bahkan Provinsi di Indonesia tercinta ini yang sedemikian rendah? Dan bila kita mengacu pada Bab X Paragraf 4, Pasal 77 Ayat  2 huruf b: "8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Di sini, saya dan rekan kerja saya masing-masing 12 (dua belas) jam dalam 1 (satu) hari. Dan setiap pergantian shift dari jaga siang ke jaga malam, salah satu dari kami harus berdinas 24 (dua puluh empat) jam. Mengapa? Karena tenaga yang ada hanya 2 orang. Maka, alangkah wajar jika ketimpangan ini menjadi perhatian pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H