Dari apa yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada banyak makna dan pelajaran penting yang dapat dipetik. Salah satunya adalah mengenai kerukunan, ketertiban, kekompakan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat desa adat Tenganan Pegringsingan. Hal itu tercermin dari dinamika hidup warga setempat yang memiliki relasi hubungan erat diantara satu sama lain, bahkan dengan alam sebagai orang-orang yang mewarisi dan masih melestarikan tradisi para leluhurnya. Selain itu, cara bagaimana mereka hidup berdampingan serta sekaligus merawat lingkungan alam disekitarnya dengan membuat norma-norma guna melindunginya merupakan sebuah contoh positif yang dapat diambil pelajarannnya. Hal ini bukan tanpa alasan karena pada dasarnya salah satu desa tertua di Bali ini memang merupakan satu dari sedikit desa adat yang masih mempertahanka pola hidup dan kebiasaan tradisionalnya ditengah gempuran teknologi dan modernitas yang berkembang dengan pesat. Begitupun ada hal penting lainnya adalah kemampuan mereka dalam mempertahankan tradisi nenek moyang tersebut patut untuk diapresiasi karena diera serba digital ini seringkali kita dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa banyak sekali tradisi maupun ritual dalam kebudayaan kelompok masyarakat tertentu menghilang atau dengan kata lain terkikis oleh perubahan zaman karena ketidakmampuan mereka dalam mempertahankannya. Terlepas dari semua itu, mengenai asal-usul desa ini menurut I Nyoman Sadra selaku tetua (tokoh adat) desa Tenganan Pegringsingan mengatakan bahwa "Menyangkut latar belakang atau sejarah dari desa adat Tenganan Pegringsingan tidak seorangpun yang tahu dan ini disebabkan oleh kebakaran yang menghanguskan seluruh desa ini, Yang terjadi di tahun 1841". Namun, ditengah kehidupan masyarakatnya diyakini terdapat sebuah mitos atau legenda bahwa raja Maya Denawa yang berkuasa pada masa itu bertindak semena-mena sehingga kemudian membuat masyarakat takut akan kediktatorannya, maka mereka memohon bantuan dan pertolongan dari dewa Indra untuk membebaskan mereka dari bayang-bayang Maya Denawa, lalu kemudian ia menolong mereka dengan memusnahkan raja kejam tersebut. Hal ini kemudian dibenarkan oleh I Nyoman Sadra dengan mengatakan "singkat cerita Maya Denawa dapat dikalahkan dan karena terjadi pertumpahan darah, maka tanah dianggap tidak suci lagi sehingga dewa Indra memutuskan untuk membuat ritual yang dinamakan aswamedah yadnya dengan menggunakan seekor kuda yan bernama onces rawon, nah karena kuda ini sakti, maka dia tahu bahwa dirinya akan dikorbankan sehingga larilah dia. Kemudian dewa Indra mengutus wong paneges untuk mencari kudah tersebut yang pergi ke timur menemukan kudah itu telah mati di lereng bukit sebelah utara desa Tenganan ini dan sampai sekarang ada batu disana yang disebut batu jaran. Jaran itu artinya kudah dan dewa Indra menghadiahkan wilayah dengan syarat sejauh mana bangkai kuda itu tercium, maka sejauh itu pulahlah wilayah yang dihadihkan kepada wong paneges, nah kemudian wong paneges ini memotong daging kuda itu dan mereka berjalan sejauh mungkin sehingga dimana-mana tercium bangkai kuda, beliau pun turun dan mengatakan cukup jangan lagi pergi lebih jauh, wilayah ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupmu" Tambah pak Sadra. Maka, hampir dapat dipastikan bahwa historisitas dari tradisi mekare-kare ini sangat sulit untuk ditelusuri kebenarannya karena terdapat banyak versi, tetapi secara umum tradisi ini dipercaya sebagai sebuah ritual yang biasa dilakukan untuk menghormati dewa Indra dan para leluhur sehingga ia mengandung unsur kepercayaan kultural dan spiritualitas.
DAFTAR PUSTAKAÂ
Rujukan Primer :
Apriliani, N. W., Luh, N., Purnawan, R., Made, N., & Amanda, R. (2019). Makna Simbol Wayang Kebo dalam Kain Tenun Gringsing Desa Tenganan Pegringsingan Karangasem Bali. 01(01), 1--7. https://ojs.unud.ac.id/index.php/komunikasi/article/view/50162/29859
Darmana, K. (2017). "Mekare-Kare" wujud ritualitas keagamaan desa adat Tenganan Pegringsingan sebagai objek wisata dan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat, Karangasem, Bali. Sunari Penjor: Journal of Anthropology, 1(1), 1689--1699.
Darsana, I. K. D. (2007). Tata Busana Adat Bali Aga Desa Tenganan Pagringsingan Dan Desa Asak Karangasem. Mudra Jurnal Seni Budaya, 21(2). https://doi.org/10.31091/mudra.v21i2.1522
Kristiono, N. (2017). Pola kehidupan masyarakat adat desa Tenganan Pegringsingan Bali. Integralistik, 28(2), 158--175. https://doi.org/10.15294/integralistik.v28i2.13734
Pratama, I. G. M. D. D., & Soewito, B. M. (2015). Perancangan film dokumenter "Selonding Nyanyianmu Semangat Kami" sebagai kebudayaan khas desa Tenganan Pegringsingan Bali. Jurnal Sains Dan Seni ITS, 4(2), 40--45. https://doi.org/10.12962/j23373520.v4i2.13668
Seminari, N. K., Puja, I. N., Remawa, A. A. R., & Muliyati, N. M. I. (2019). Kerajinan Kain Etnik Pegringsingan di desa Tenganan kecamatan Manggis kabupaten Karangasem Bali. Buletin Udayana Mengabdi, 18(1), 120--123. https://doi.org/10.24843/bum.2019.v18.i01.p24
Yanti, N. P. M. P. (2021). Konservasi Ekoleksikon Pada Tradisi Mekare-Kare. Linguistic Community Services Journal, 2(1), 5--15. https://doi.org/10.55637/licosjournal.2.1.4060.5-15
Yanuarta, I. A., Ermawati, P., & Kusrini. (2018). Tradisi Mekare-Kare Di Desa Bali Aga. Journal of Photography, Arts, and Media, 2(1), 57--68. https://doi.org/10.24821/specta.v2i1.2468