Mohon tunggu...
Herwanto Weya
Herwanto Weya Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Satu hal yang saya ketahui adalah bahwa saya tidak tahu apa-apa!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengapa Harus Belajar Filsafat!?

16 Januari 2023   06:27 Diperbarui: 16 Januari 2023   06:37 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia pada dasarnya adalah makhluk berakal  budi yang cirinya adalah berpikir sehingga ketika manusia anti dengan akalnya dan anti dengan berpikirnya, maka ia kehilangan cirinya sebagai manusia. Salah satu instrumen dalam dunia filsafat adalah berpikir itu sendiri dan sarana untuk berpikir adalah bahasa karena tanpanya orang tidak dapat berpikir. 

Maka, dalam konteks ini setiap individu pada dasarnya memiliki naluri seorang filsuf "berfilsafat" hanya saja perbedaan diantara orang yang belajar filsafat dan tidak terdapat pada cara mereka berpikir dan mengambil keputusan serta menyimpulkan sesuatu dari hasil perenungannya. 

Ketika seseorang memutuskan untuk belajar filsafat, maka ia kembali pada masa kanak-kanak yang dimana mereka selalu mempertanyakan segala sesuatu tanpa terduga dan mungkin saja menurut orang dewasa (orang tua) itu sudah jelas. 

Misalnya ketika mereka bertanya mengapa orang sakit? atau ketika mereka melihat bayi, lalu bertanya dari mana asalnya? atau ketika mereka melihat kucing, lalu bertanya mengapa kucing berkaki empat? dan lain sebagainya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sering dianggap sepeleh bagi orang dewasa karena sudah sangat jelas sehingga menurut mereka tidak perlu dipertanyakan, tetapi bagi anak-anak hal semacam itu perlu untuk dipertanyakan. 

Sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat pada dasarnya bertujuan untuk mengembalikan sekaligus menumbuhkan kembali sisi kekanak-kanakan itu di dalam diri seorang pembelajar filsafat.

Hal ini bukan tanpa alasan karena seringkali kita mendapati diri kita ketika sudah beranjak dewasa dan semakin matang dalam berpikir rasa penasaran dan nalar kritis dengan perlahan terkikis habis. Hal ini bisa terjadi karena suatu alasan tertentu, salah satunya adalah ketika seseorang tumbuh dewasa biasanya mereka mulai memilih dan berpegang teguh pada suatu ideologi, dogma, keyakinan, nilai-nilai, aliran atau agama tertentu sebagai pedoman hidupnya. 

Sehingga ketika dibenturkan pada hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan maupun nilai-nilai tau pedoman hidupnya seringkali kita melihat bahwa dalam banyak kasus orang sangat sulit untuk berpikir kritis, terbuka dan logis serta rasional terhadap hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan mereka. 

Akibatnya adalah orang tidak lagi menjadi pribadi otentik dan tenggelaman dalam kerumunan "logika pasar" (ikut-kutan) yang sempit karena kehilangan kemampuan untuk berpikir independen dan fleksibel serta skeptis terhadap "logika pasar". Artinya, orang tidak lagi menjadi terbuka dengan berbagai hal yang bertentangan dengan hal-hal yang bersebrangan dengan pedoman maupun pandangan hidupnya.

Misalnya saja dalam hal kepercayaan "agama" dimana seperti yang sudah diketahui bahwa di Indonesia sendiri hanya mengakui enam agama, tetapi belakangan ini kita dihadapkan pada sebuah fenomenan munculnya sebuah sekte atau aliran kepercayaan diluar dari enam agama resmi yang diakui pemerintah. 

Jelas bahwa hal ini menjadi sebuah polemik dan tantangan tersendiri bagi setiap individu dalam menyikapinya. Katakanlah seperti aliran kepercayaan suku Dayak Losarang, Gerakan Fajar Nusantara yang dimana pemimpinnya Ahmad Musadeq difatwa sesat oleh Majelis Ulama Indonesia pusat, begitupun dengan "Aliran kepercayaan yang lain di antaranya adalah Sunda Wiwiitan, yang merupakan kepercayaan yang dianut oleh suku Baduy Banten, aliran kepercayaan Kejawen yang berkembang jauh sebelum Hindu masuk di Jawa, aliran kepercayaan Buhun dan sebagainya" (Farhan, 2017). 

Terlepas dari semua itu, pertanyaannya adalah apa yang menjadi tolok ukur atau paramenter seseorang atau organisasi "Lembaga" tertentu sehingga mengklaim bahwa aliran kepercayaan yang bermunculan tersebut adalah sesat dan harus dimusnakan, sedangkan disisi lain kita mengeulu-elukan keberagaman atau pluralitas, bukankah hal ini adalah semacam sebuah paradoks. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun