Apa yang seharusnya kita lakukan ketika seorang pemimpin rohani mengalami “kejatuhan”? “Kejatuhan” dalam arti pemimpin rohani tersebut memilih untuk hidup tak berintegritas. Integritas adalah kesediaan memilih pikiran dan tindakan berdasarkan nilai-nilai kebenaran daripada keuntungan pribadi. Seorang pemimpin rohani “jatuh” ketika ia mengarahkan pandangan pada keuntungan pribadi, dan mengabaikan nilai-nilai kebenaran. Ekspresi dari “kejatuhan” itu bisa sangat beragam : keserakahan, pemuasan hawa nafsu, pelanggaran hukum serius, ketidakjujuran, manipulasi dan barangkali juga kombinasi beberapa hal ini.
Empat hal berikut ini perlu kita ingat ketika seorang pemimpin rohani mengalami “kejatuhan”.
Pertama, beberapa orang mengalami “kejatuhan” di atas panggung sehingga nampak jelas dan menjadi percakapan bagi orang lain. Beberapa orang mengalami “kejatuhan” di belakang panggung, sehingga tak nampak bagi orang lain, walaupun tak tersembunyi dari Allah.
Nah, dalam kerangka berpikir seperti ini : siapa yang tidak pernah “terjatuh”? Di hadapan Allah yang Maha Tahu itu tak sangguplah kita menutupi-nutupi apa yang terjadi dalam hidup ini, termasuk dalam pikiran. Barangkali selain di dalam pikiran, “kejatuhan” di belakang panggung tak banyak meninggalkan risiko di mata orang lain. Tak ada orang yang mengetahui hal itu, apalagi mempercakapkannya. Inilah salah satu keuntungan menjadi orang biasa yang tak dimiliki oleh para pemimpin rohani. Para pemimpin rohani itu seringkali tak punya pilihan selain tampil di depan panggung. Keberhasilannya menjadi bahan percakapan, demikian pula kegagalannya. Itulah yang membuat “kejatuhan” seorang pemimpin rohani menjadi berbeda. Mereka “jatuh” di atas panggung.
Kedua, beberapa orang merasa lebih baik dari orang lain hanya karena mereka tidak “jatuh” di atas panggung dan mengarahkan telunjuk pada yang “jatuh” di atas panggung.
Salah satu godaan besar bagi kita ketika seorang pemimpin rohani “jatuh” adalah mengarahkan telunjuk padanya sembari berkata,” Nah, ternyata kamu seperti itu khan. Terbuka sekarang segala kebusukanmu.” Namun, pada saat yang bersamaan apakah kita bersedia mengarahkan jari dan memeriksa diri sendiri? Saya tahu kita bisa saja kecewa dengan “kejatuhan” seorang pemimpin rohani. Kekecewaan itu bukanlah alasan untuk menumpahkan keputusasaan kita terhadap kegagalan diri sendiri dalam bentuk kemarahan pada mereka yang “jatuh” di atas panggung. Di hadapan Tuhan, mereka yang “jatuh” di atas panggung tak menjadi lebih buruk daripada kita yang “jatuh” di belakang panggung.
Ketiga, hakikat “kejatuhan” di belakang atau di atas panggung adalah sama, namun akibat sosial menjadi berbeda. Hal ini bergantung pada status pelakunya dan jenis perbuatannya.
Hakikat “kejatuhan” adalah sama, namun dampaknya pasti berbeda. Status pelaku dan jenis perbuatan akan menentukan seberapa besar dampak kerusakannya. “Kejatuhan” seorang pemimpin rohani yang mempunyai reputasi internasional tentu beda dampaknya dengan yang hanya dikenal pada tingkat lokal. Semakin tinggi sebuah pohon, maka bukan saja semakin kencang angin bertiup, namun juga semakin besar potensi kerusakan apabila pohon itu roboh.
Seberapa parah dampak kerusakan ini juga ditentukan oleh jenis “kejatuhan” seorang pemimpin rohani. Ketidakjujuran finansial akan menghasilkan dampak sosial yang berbeda dengan perselingkuhan. Perkelahian fisik akan menghasilkan dampak sosial yang berbeda dengan pelecehan seksual.
Keempat, keinginan untuk bangkit setelah mengalami “kejatuhan” bisa berasal dari kesadaran akan akibat dari perbuatan itu sendiri, namun tak boleh hanya berhenti di sini, karena ada jebakan untuk hanya memulihkan reputasi bukan diri.
Godaan terbesar pasca kejatuhan adalah keinginan untuk segera memulihkan reputasi. Reputasi adalah bagaimana orang lain menilai kehidupan kita. Keinginan untuk memulihkan reputasi adalah hal yang wajar. Siapa yang dapat hidup dengan nama yang buruk dan menjadi percakapan di sana sini? Namun, pemulihan reputasi seharusnya adalah akibat dari pemulihan diri. Tanpa pemulihan diri, pemulihan reputasi hanya pencitraan saja. Pencitraan yang tak menolong dan bahkan menghambat pemulihan diri yang sesungguhnya.