“Ini uangnya. Tiga puluh ribu,” kata Alden (8 th) sambil mengulurkan uang di tangannya.
Pagi itu, tak lama setelah saya bangun pagi, saya menatapnya sambil mengerutkan dahi,” Uang apa ini?” tuturku dalam hati.
Ah, saya ingat kembali. Ini uang pengganti untuk pembelian satu set kartu Animal Kaizer di toko buku semalam.
Di toko buku itu, Alden berkata,” Saya pingin beli ini,” sambil memegang satu set kartu.
“Gunakan uang tabunganmu. Hitung sendiri cukup atau tidak?” jawabku sambil mengamati sebuah buku.
“Tiga puluh ribu. Uang tabunganku delapan puluh ribu. Masih ada sisanya. Tolong papa bayar dulu, besok saya ganti uangnya ,” tutur Alden dengan gembira.
Sebenarnya, saya bisa saja membelikan satu set kartu itu untuk Alden. Ia tidak perlu mengambil tabungannya, tapi saya ingin ia belajar mengerti nilai uang. Tidak ada yang gratis di dunia. Alden mesti belajar untuk tak mudah meminta sesuatu dari orang tua.
Tabungan Alden itu yang berasal dari apresiasi saya untuk nilai raportnya. Setiap mendapat nilai 9, Alden mendapat sekian ribu. Begitu demikian dengan nilai 9 atau 8. Nilai 7? Alden harus membayar kepada saya sekian ribu. Selepas menerima raport, Alden pun menghitung berapa rupiah yang akan diterimanya. Hitung punya hitung, tengah semester ini Alden mendapat 80 ribu. Saya ingin mengajar Alden tiap prestasi ada apresiasinya. Apresiasi tentu saja tak semata dalam bentuk uang. Oh ya, sampai kelas 3 SD ini, kami tak pernah memberikannya uang saku.
Pagi ini, sebenarnya saya sudah lupa pada janji Alden untuk mengembalikan uangnya. Ketika Alden mengulurkan uang tiga puluh ribu itu, bisa saja saya menolaknya. Dengan hati bersyukur karena Alden mengingat tanggung jawab dan kejujurannya, saya memutuskan untuk menerima uang itu.
Saya tak tahu apakah umur akan cukup panjang untuk melihat masa depan Alden kelak. Saya tak tahu masa depan, karena itu saya ingin memastikannya saat ini. Saya ingin menabur benih-benih tanggung jawab dan kejujuran. Semoga benih-benih itu terus bersemi, bertumbuh dan berbuah di kemudian hari.