Mohon tunggu...
wahyu 'wepe' pramudya
wahyu 'wepe' pramudya Mohon Tunggu... -

full time sinner, full time pastor, full time husband and father. unresolved mystery about grace. Kontak di bejanaretak at gmail dot com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Saat Terbaik untuk Mencintai

13 Februari 2015   17:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:16 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1423798115923250082

[caption id="attachment_350866" align="aligncenter" width="300" caption="(sumber gambar : www.habibihalaqas.org)"][/caption]

Tali inimasangnyagimana ya mas ?” tanya seorang ibu kepadaku.  Saya tersenyum dan langsung membantunya memakaiseatbeltyang tadi disebutnya sebagai tali.  Di sebelah saya ada sepasang suami isteri yang sudah berusia lanjut.  Saya perkirakan usia mereka 70-an tahun.

“Terima kasih ya mas.  Maklum orang desa. Baru kali ini kami naik pesawat terbang.  Mau nengok cucu,  tiketnya dibelikan anak saya,” tutur bangga pria tua itu.

Ketika pesawat akan lepas landas, sang isteri nampak menyatukan tangannya, dan mulutnya komat-kamit berdoa.

Kowe wedhi tho? (Kamu takut khan?) ” kata sang suami sambil memegang tangan isterinya.

Sang isteri mengibaskan tangan suaminya,”Ojo nganggu. Kowe yo mesti wedhi! (Jangan mengganggu. Kamu juga pasti takut)

Sang suami tangkas menjawab,”Aku ora wedhi, kowe sing wedhi!” (Saya tidak takut, kamu yang takut)

Isterinya pun menimpali,”Ora. Kowe sing wedhi!”  (tidak. Kamu yang takut)

Agak lucu juga mengamati dua orang yang sudah berusia lanjut ini saling menuduh bahwa pasangan mereka yang takut.

Yo wis, podho-podho wedhi (Ya sudah, kita sama-sama takut),” begitu pungkas sang suami sambil menggenggam tangan isterinya.

Isin aku, ono mase (Malu saya, ada pria itu),” begitu bisik sang isteri pada suami.

Saya pun tersenyum.  Menyaksikan anak remaja yang sedang jatuh cinta dan berpegangan tangan di gedung bioskop adalah pemandangan biasa.  Melihat suami isteri saling memeluk juga adalah hal yang umum.  Tapi, mendengar dan melihat kemesraan pasangan suami isteri yang sudah berusia lebih dari 70 tahun, ini baru luar biasa.

Ada saatnya, cinta memang bertahan melintasi usia, atas ijin yang Mahakuasa.

***

“Hari ini genap sepuluh tahun,” kata pria itu yang menyambut kedatangan saya.

Saya ada di sebuah kamar tidur yang luas yang berada di sebuah rumah yang indah.  Di kamar tidur itu, tersusun rapi obat-obatan dan beberapa perlengkapan medis.  Ada tabung oksigen berukuran cukup besar di sudut kamar.  Suhu udara di kamar itu terasa cukup dingin bagi tiga orang yang ada di dalamnya.

Saya, pria itu dan seorang perempuan yang terbaring dalam keadaan koma selama sepuluh tahun.

“Apa yang bapak ingin saya doakan bagi istri?” tanya saya

Pria itu menatap istrinya yang tak berdaya.  Tangannya mengusap-usap rambut istrinya dengan penuh kasih sayang. “Saya tidak ingin meminta apapun dari Tuhan.  Tuhan sudah memberi banyak kepada kami. Saya telah menikmati dua puluh tahun terbaik dalam pernikahan dengan kondisi istri yang sehat.  Saya bersyukur untuk itu.  Kini, Tuhan memercayakan saya untuk merawatnya selama sepuluh tahun.  Saya pun mensyukurinya.  Istri saya masih ada, walau tidak berdaya.  Saya berserah sepenuhnya pada apa yang Tuhan pandang baik bagi saya dan istri.”

Pria itu menundukkan kepala, mencium kening istrinya dengan penuh kasih sayang, lantas berbisik dekat telinganya,” I love you.”

Tidak ada respons apapun dari sang istri.

Saya yakin cinta hadir di situ.  Bukankah cinta tak selalu hadir dalam kata?  Cinta tak hanya bisa bersuara melalui nada dan kata.  Cinta mewujudnyata dalam kesunyian kesetiaan yang menyapa relung hati terdalam.

***

Saya memperhatikan anak kecil itu terus berjalan mengikuti papanya.  Ketika papanya sibuk mempersiapkan peralatan tata suara, anak tak kalah sibuknya memegang dan memainkan beberapa barang yang ada.  Papanya pun beberapa kali mengajaknya berbicara dan memeluknya.  Mereka berdua begitu dekat dan akrab.  Sebuah keakaraban anak laki-laki dan papanya.  Usia anak itu kira-kira 5 tahun.

“Mamamu di mana?  Kamu punya adik atau tidak?” begitu tanyaku setelah mengenal namanya.

Anak itu nampak terdiam.  Tiba-tiba keceriaannya lenyap.  Ketika papanya lewat, ia segera mendekati dan memeluk papanya.

Saya kembali mengulang pertanyaan itu,”  Mamamu di mana?  Punya adik atau tidak?”  Mendengar pertanyaan itu, sang anak mendengok dan mengarahkan pandangan pada papanya.

Sang papa pun menjawab lirih,” Adiknya sudah ke surga, dibawa oleh mamanya tujuh bulan yang lalu.”  Suaranya nampak tergetar, mata nyaris berkaca-kaca.  Saya pun terdiam sedih, tak mampu bicara.

Ada saatnya cinta hanya bertahan sementara waktu saja.  Bukan karena tak ingin mencinta, tetapi karena kepergian selama-lamanya yang tak pernah terduga.

***

Kita tidak pernah bisa mengulang masa lalu.  Kita juga tak bisa menebak masa depan.  Kita hanya bisa mencintai seseorang pada hari ini, dan berharap bisa mengulanginya pada esok hari, sampai perpisahan terjadi.

Saat terbaik untuk mencintai bukanlah nanti, tapi hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun