Mohon tunggu...
Wenny Rosalia
Wenny Rosalia Mohon Tunggu... -

Counselor

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Panggilan oleh Wenny Rosalia Kusumawardani

16 Mei 2012   16:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:12 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, hidup yang kemarin serasa ayem tentrem sempat terusik oleh sesuatu. Yah ketika pulang ke kampung, orang tua (Mama.red) sempat berkata ”Dik, ndak pingin cari pandangan lain? Masak cuma gini-gini aja”. Lhah berarti beliau melihat apa yang menjadi profesi saya saat ini kurang ”pas”. Walah.... Dan usut punya usut, dasar beliau berkata demikian karena saya pernah mengatakan bahwa jangan berpikir kalau di tempat saya bekerja itu sudah ”enak”.

Sempat Mama kembali mengungkit tawaran perusahaan rokok dan lowongan kerja di bank sebagai alternatif pilihan, dimana secara finansial memang lebih menjanjikan. Namun bujukan Mama masih belum membuat saya berbalik arah. Jika saya refleksikan kembali, sebagai orang tua sangat sangat wajarlah jika menginginkan anaknya hidup enak, dalam hal ini temasuk bekerja di tempat yang enak pula. Dan memang Mama mengaku sempat khawatir ketika saya berkata sebaliknya. Dimana gajinya terhitung masih kecil (jauh di bawah orang awam mengira jika dibanding dengan nama besar tempat saya bekerja), juga masalah kesempatan untuk berkembang masih terlalu kecil. Isu ini bisa diangkat menjadi topik utama di tempat saya bekerja sebenarnya jika mau. Dan inilah yang kemudian terjadi.

Ngomong-ngomog masalah keenakan, kenyamanan, memang sih banyak orang mengira tempat kerja saya sekarang ini sudah enak, dan bisa membuat saya krasan. Hal tersebut karena nama besar yang telah di sandang oleh tempat saya mengabdi. Dan biasa lah rumput tetangga pasti terlihat lebih hijau. Padahal sebenarnya mungkin sama saja. Setiap tempat kerja pasti punya kesulitan dan hambatan sendiri-sendiri. Inilah senjata yang saya gunakan untuk membuat diri saya lebih tenang.

Tapi bukan ini yang ingin saya bahas lebih lanjut, namun masalah alasan di balik profesi yang saya pilih.

Sebenarnya tidak pernah terbayang sama sekali saya akan menjadi seorang guru. Tidak pernah ada pikiran ketika masih kecil atau ketika remaja bakal menggeluti profesi ini. Bahkan dari silsilah keluarga pun (keluarga sedarah) tidak ada yang menjadi guru. Keinginan ini datang begitu saja, ketika kuliah saya mulai menggeluti dunia pendidikan, kemudian dari sana saya belajar untuk membagikan ilmu kepada orang lain, dan alhasil ada ”sesuatu” yang saya dapatkan yang tak pernah saya rasakan sebelumnya. Inilah yang pada akhirnya saya yakini sebagai sebuah PANGGILAN.

Layaknya perikop dalam kitab suci ”Bukanlah kamu yang memilih Ku, Namun Aku yang memilih mu”. Berbekal ayat tersebut, sampai saat ini saya bangga karena menjadi yang terpilih untuk menjadi seseorang yang digugu lan ditiru (akronim dalam bahasa jawa dari GuRu.red). Di mana benih panggilan profesi ini, kian hari pun tidak makin menyusut dalam hal kuantitas dan kualitasnya, namun malah sebaliknya.

Panggilan ini kian lama kian terpupuk setelah saya menjalani tahun kedua saya di tempat saya mengabdi sekarang ini. Bukan sesuatu yang mudah dan otomatis terbentuk keyakinan akan panggilan ini. Proses tetap saya alami. Enak tidak enaknya profesi ini sudah saya alami sedikit demi sedikit. Bahkan sempat saya menangisi kebimbangan saya akan keyakinan pada panggilan profesi saya ini. Namun entah mengapa saya sampai saat ini makin mencintainya. Dan itulah yang menguatkan saya, selain dukungan positif dari rekan sejawat dan orang-orang di sekitar saya.

Bagi saya, melalui profesi inilah saya bisa memberikan diri saya seutuhnya. Melalui profesi ini saya merasakan yang namanya bekerja dan berkarya. Itulah yang bisa saya lakukan sebagai bentuk ”balas budi” akan berkat yang telah saya rasakan di masa pendewasaan saya. Mukzijat yang luar biasa yang tidak akan pernah terjadi kalau bukan Tuhan sendiri yang berkarya.

Untuk masalah gaji atau kesempatan mungkin memang belum waktunya, atau saya memang belum pantas untuk mendapatkannya. Namun walaupun begitu saya masih percaya Tuhan mencukupi kebutuhan saya. Inilah wujud keteguhan saya terhadap doa Bapa Kami, yang setidaknya pasti saya doakan setiap minggunya di gereja.

Sampai dengan detik ini ketika saya menulis ini, bagaimana pun juga saya masih mendoakan panggilan saya. Semoga Tuhan berkenan memberikan petunjuk dan menguatkan serta meneguhkan. Apakah Tuhan mengharapkan saya tetap menjadi guru bagi anak-anaknya, apakah saya akan masih tetap bekerja dan berkarya seterusnya di tempat saya mengabdi sekarang ini, atau pada akhirnya beberapa tahun kemudian saya berada di tempat lain dengan profesi yang berbeda. Hanya Tuhan yang tahu.

Semoga Anda sekalian juga telah menemukan panggilan Anda sendiri dalam berbagai bentuknya. Tuhan Memberkati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun