Mohon tunggu...
Wenny Ira R
Wenny Ira R Mohon Tunggu... Penulis - Kybernan

Peneliti, Akademisi, Militansi Desa, Humanis, Berbudaya, Book Lover

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makan Merawang, Tradisi Piknik Masyarakat Melayu Jambi

26 Juni 2022   00:01 Diperbarui: 26 Juni 2022   00:11 1724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu Minggu,12 Juni 2022, Ita, Novi, Ani dan beberapa anak dari Rumah Baca Kakita, Kota Jambi bergembira ria naik pick up bak terbuka. Tujuan mereka adalah Desa Jambi Tulo yang terletak di Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi.  Meskipun cuaca sedikit panas dan mereka duduk berdesakan, itu tak mengurangi semangat serta kegembiraan mereka semua. Sepanjang perjalanan itu mereka asik bercerita satu sama lain sembari menikmati angin sepoi dan  pemandangan di kiri- kanan jalan. Tak terasa mereka pun telah sampai ke tempat tujuan.

Foto dokumentasi Novi dan Ani
Foto dokumentasi Novi dan Ani
Mereka pun turun dari pick up dan bergegas untuk berbaur bersama  pengurus Taman Sakat Lebung Panjang, anak-anak Taman Baca Atap Rumbe, pendongeng dari Kampung Dongeng Seloko, jurnalis, musisi indie dan seniman, serta sejumlah pegiat literasi  Provinsi Jambi.

Minggu pagi itu adalah hari istimewa karena acara makan merawang  digelar di Taman Sakat Lebung Panjang. Tidak hanya acara makan merawang saja, namun sejumlah acara sebelum makan merawang juga digelar untuk meramaikan suasana, seperti dongeng, permainan tradisional, musik tradisi gambang Jambi Tulo, musik kontemporer, menanam pohon dan diakhiri dengan makan merawang.

Taman Sakat Lebung Panjang sendiri merupakan taman seluas tiga hektar yang difungsikan sebagai tempat konservasi berbagai jenis anggrek yang ada di Jambi. Taman ini didirikan  secara swadaya oleh komunitas Gerakan Muarojambi Bersakat yang ada di Desa Jambi Tulo. Pada akhirnya, eksistensi taman ini dan Gerakan Muarojambi Bersakat tidak hanya mengenai konservasi anggrek, tetapi juga telah merambah pada pelestarian budaya. Seni gambang tradisi Jambi Tulo merupakan salah satu objek budaya yang mereka lestarikan, disamping kearifan lokal kopi air nira atau yang lebih dikenal dengan kopi tuak dan tarian kreasi.

Pada salah satu sudut yang asri di dalam taman tersebut didirikan juga Taman Baca Atap Rumbe. Letak taman baca ini di atas kolam berukuran sedang.  Satu bilik bambu beratapkan rumbia serupa dengan dangau yang biasa ada di tengah sawah dibangun di atas kolam tersebut. Bilik ini lah yang menampung buku-buku dan aktifitas literasi anak-anak taman baca. Taman baca ini didirikan sebagai upaya mengedukasi anak-anak yang ada di Desa Jambi Tulo tentang literasi terhadap alam, budaya dan pengetahuan lain yang diperlukan. 

Acara makan merawang digelar terbuka pada area Taman Sakat Lebung Panjang yang memang difungsikan sebagai area berkumpul dan menggelar acara. Pada area tersebut terdapat gazebo berukuran besar yang juga difungsikan sebagai panggung pertunjukkan jika ada acara. Gazebo tersebut dikelilingi halaman berumput hijau yang sangat luas dan juga pohon-pohon kelapa sawit. Pada salah satu sisi area ini terdapat kanal air memanjang yang mengelilingi pulau tempat konservasi anggrek.

Ita, Novi dan Ani serta anak-anak Rumah Baca Kakita pun larut pada keseruan acara sebelum makan merawang. Mereka tampak menikmati acara dan suasana. Kopi air nira yang dihidangkan juga turut mereka cicipi dan menambah kesegaran tubuh mereka.

Pada acara puncak makan merawang, mereka berbaur bersama pengunjung yang hadir untuk menikmati hidangan makan merawang yang tersedia. Nasi serta lauk-pauk sengaja mereka bawa untuk acara makan merawang tersebut dan saling mereka pertukarkan dengan pengunjung acara makan merawang. Jadi lah mereka saling cicip nasi dan lauk-pauk, serta saling bersenda gurau dalam suasana yang akrab, guyub di acara makan merawang tersebut.

Makan Merawang

Makan merawang atau ada juga yang menyebutnya dengan makan berawang merupakan tradisi masyarakat melayu Jambi yang jika dilihat sekilas menyerupai kegiatan piknik bersama di alam terbuka. Menurut Adi, pendiri dan pengurus Gerakan Muarojambi Bersakat, makan merawang tidak sama dengan piknik, meskipun arti merawang  adalah makan di alam terbuka.

" Makan merawang  memiliki tujuan khusus yang sarat filosofi dan muatan kearifan lokal. Tradisi ini merupakan upaya untuk menjalin silahturahmi dan saling berbagi tidak hanya dengan sesama manusia, namun juga dengan alam. Silahturahmi dengan sesama manusia karena mengumpulkan orang ramai agar guyub, rukun dan akrab. Silahturahmi dengan alam karena tradisi ini dilakukan di alam terbuka untuk lebih dekat mencintai dan memaknai alam sekitar. Saling berbagi dengan sesama manusia itu jelas, karena pada tradisi ini setiap yang terlibat makan merawang berbagi nasi dan lauk-pauk. Pada alam, kita memiliki kebiasaan berbagi yang telah lama dilakukan, yaitu ketika ada makanan sisa, maka makanan tersebut dilemparkan ke tanah, sungai dan juga batang pohon dengan tujuan untuk memberi makan semua hewan yang terdapat di alam, seperti cacing, semut, serangga dan lain-lain," terang Adi.

Itu lah sebabnya makan merawang bagi Adi jauh berbeda dengan hanya sekedar piknik. Makan merawang tidak meninggalkan sampah di alam karena tujuannya adalah untuk lebih dekat dengan alam dan memaknainya sepenuh jiwa dan penuh cinta kasih. Tak ada perilaku mengotori atau meninggalkan sampah di alam pada tradisi makan merawang.

Makan merawang  sebagai tradisi mengumpulkan orang ramai, dahulu kerap dilakukan ketika panen padi atau pada saat berkebun dan membuka lahan. Pada tradisi ini setiap orang yang telah sepakat ikut makan merawang membawa makanan masing-masing berupa beras, nasi, garam, lauk-pauk dan lain-lain. Makanan ada yang telah dimasak dari rumah atau dimasak di lokasi tempat makan merawang dilaksanakan. Puncak  makan merawang adalah ketika semua orang duduk untuk menikmati makanan yang mereka bawa bersama-sama. Orang-orang saling berbagi makanan tersebut dan saling bercengkerama, bersenda-gurau, melemparkan kelakar satu sama lain dalam suasana yang akrab, guyub, rukun. 

Di tengah sawah yang ada dangaunya atau pematang sawah yang bisa muat orang banyak dan di dalam area kebun biasanya lokasi yang kerap dipilih untuk melaksanakan tradisi makan merawang. Jika ukuran dangau besar, maka makan merawang dilakukan di dalam dangau. Jika tidak, maka dilakukan di pematang sawah atau di tempat terbuka yang memungkinkan. Tikar digelar di atas tanah sebagai alas orang-orang duduk bersama dalam makan merawang. Sejuknya angin sepoi yang dihembuskan pepohonan sekitar menjadi pelengkap suasana dan meningkatkan kenikmatan mencicipi hidangan makan merawang.

Foto dokumentasi Ita
Foto dokumentasi Ita
Adi menuturkan, tradisi menu yang ada dalam makan merawang terdiri dari nasi ibat, sambal terasi, sayur-sayuran dan ikan.

"Nasi ibat adalah nasi yang dibungkus dengan daun pisang. Kita ambil ikan yang terdapat di sekitar sungai tempat kita tinggal sebagai lauk, juga sayur-sayuran yang kita tanam di sekitar rumah. Itu semua dibawa dengan rantang atau wadah ke tempat acara makan merawang. Tetapi pada acara makan merawang  kita bersama hari ini, karena ada tamu dan dekat dengan rumah, maka kita sajikan dengan nampan. Untuk keindahan saja, " ungkap Adi.

Semula Adi dan  pengurus Taman Sakat Lebung Panjang, serta Taman Baca Atap Rumbe akan mengadakan acara halal bihalal bersama pegiat literasi, media, dan Kampung Dongeng Seloko. Berhubung terdapat kendala yang membuat acara tersebut diundur beberapa kali dan sampai lewat bulan Syawal, maka Adi setelah berembuk dengan pengurus tersebut dan juga tetua Desa Jambi Tulo, sepakat untuk menggelar tradisi makan merawang.

Ita atau Masyitah, baru pertama kali mengikuti tradisi makan merawang. Baginya ini merupakan acara yang seru karena bisa makan bersama teman-teman dan berbagi atau bertukar lauk-pauk. Menurutnya dengan mengikuti tradisi makan merawang, pikiran jadi segar, dan asyik bisa menikmati alam.

"Hal yang paling menarik lewat kegiatan ini kita bisa berkegiatan literasi yang menyenangkan dan penuh makna. Setiap ke Jambi Tulo selalu keunikan yang muncul. Kali ini ada permainan tradisional bernama PeranPisang menyimpan nilai-nilai yang cukup unik. Ita pun bisa belajar bahasa daerah dari permainan tersebut. Niatnya menghadirkan dongeng  untuk anak desa. Ternyata kita sebagai orang dewasa pun ikut bergembira, karena Ita sudah lama tidak menikmati dongeng secara langsung. Tema yang diangkat Alam Sabahat ku juga jadi pengingat buat kita untuk lebih peduli ke alam. Menanam pohon sebagai aksi nyata. Semoga nanti pohon buahnya bisa tumbuh dan berkembang. Beberapa tahun lagi sepertinya kita bisa menikmati bersama," ungkap Ita.

Ita berpesan bahwa keterlibatan tuan rumah komunitas dan masyarakat yang datang menjadi kunci penting dalam kolaborasi kegiatan serupa. Kegiatan ini menurutnya perlu dilaksanakan setiap tahun sebagai ajang silahturahmi bagi masyarakat, pegiat dan juga komunitas literasi di alam terbuka.

Novi yang berangkat bersama Ita mengungkapkan kesannya ikut tradisi makan merawang, "asik, kegiatannya dikemas dengan rangkaian agenda yang menarik. Pesan pelestarian lingkungannya dapat dengan penanaman pohon dan makna makan merawang. Saya juga baru tahu, ternyata makan merawang itu seperti piknik orang-orang tua terdahulu dengan merawat kelestarian lingkungan. Makanan dalam hal ini lauk-pauknya diambil langsung dari alam, tidak menimbulkan sampah seperti piknik kekinian, semoga acara ini terus lestari dan dipraktikkan banyak orang."

Novi pada awalnya penasaran apa hubungan antara komunitas literasi dengan kegiatan makan merawang. Sebelumnya Novi hanya tahu makan merawang itu  cuma makan di sawah ketika  musim panen padi.

"Pengenalan nilai-nilai luhur melalui literasi budaya sangat penting untuk dilakukan  di tengah maraknya arus teknologi yang kadang membuat kita lupa akan budaya kita sendiri. Saya pikir Jambi sangat kaya akan tradisi. Tinggal bagaimana  semua pihak bekerja cerdas untuk memaksimalkan potensi yang ada," papar Novi tentang pesannya setelah mengikuti makan merawang.

Ani sangat terkesan dengan rangkaian kegiatan  dan tradisi makan merawang yang digelar di Taman Sakat Lebung Panjang ini. Baginya, makan merawang  itu selain asik sambil senda gurau , makanannya juga khas Jambi. 

" Ada kopi air nira atau kopi tuak, terus alam dan cuacanya juga mendukung. Lingkungannya juga masih asri, tapi sayang makannya di bawah pohon sawit hehe. Ani baru pertama mencoba kopi tuak dan mendengar  musik gambang tradisi  Jambi Tulo. Unik sih alat nya, bisa dari kayu yang beda bunyi gitu," ungkap Ani.

Ia menambahkan bahwa yang terpenting itu kebersamaan ketika makan merawang, karna satu sama lain yang terlibat pada acara ini dipandangnya ada upaya pendekatan emosional walau pun lintas usia.

"Semoga tradisi makan merawang tak hilang dari Jambi,  terutama di kalangan anak milenial  yang malu kalau makan pakai tangan dan tak mau makan bersama. Terus juga soal lingkungan, semoga kawan-kawan senantiasa giat melakukan edukasi sayangi ibu bumi, tidak mencemari air  dan merawat lingkungan hidup kita bersama," pesan Ani.

Foto dokumentasi Edwar Sasmita
Foto dokumentasi Edwar Sasmita

Foto dokumentasi Edwar Sasmita
Foto dokumentasi Edwar Sasmita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun