"Benar, gak ada. Cuma kami berempat yang dari tadi ngobrol di teras dan gak ada  orang lewat satu pun kok," ujarnya meyakinkanku.
Aku bingung, tapi karena adzan maghrib sudah berkumandang, aku tak meneruskan lagi pertanyaan yang bisa membesar menjadi perdebatan itu. Baik aku dan ibu tetangga depan rumah sama-sama masuk ke dalam rumah. Sehabis sholat aku masih memikirkan siapa gerangan yang meminta bunga mawar tapi tak berperasaan dan menghabiskan seluruh bunga mawar itu. Pikirku akan kutanyakan lagi besok pagi, karena malam hari aku ada kerjaan.
Pagi harinya pun masih kutanyakan perihal gerombolan orang yang mengambil bunga mawar itu. Ibu tetangga depan rumah tetap kekeh tak melihat siapapun mengambil bunga mawar. Bahkan pernyataan ini diperkuat oleh ibu-ibu lainnya yang kemarin sore mengobrol bersamanya. Mereka juga tak melihat siapapun mampir mengambil bunga mawar. Menurut mereka posisi duduk ketika mengobrol itu benar-benar menghadap halaman paviliunku dan tanpa halangan apapun. Saat itu jalanan depan rumah sepi, tak ada satu pun orang yang lewat.
Mereka pun heran dengan habisnya bunga mawar pada pokok-pokoknya yang telah gundul. Namun tak ada yang berani berkomentar. Hanya beberapa yang bilang sambil mengingat betapa banyaknya bunga mawar itu kalau diambil semuanya dan ajaib bisa habis tandas tak bersisa. Peristiwa ini masih menjadi misteri hingga sekarang.
Sejak ibu meninggal dan peristiwa misterius itu, pokok-pokok bunga mawar itu tak mau lagi berbunga. Mereka semua layu dan mati, baik yang di depan paviliun maupun yang ditanam pada sisi halaman lainnya. Padahal bapak sangat berusaha keras merawat pokok-pokok bunga mawar itu. Aku sering memergoki bapak menangis jika menyirami pokok-pokok bunga mawar peninggalan ibu. Bapak selalu berlama-lama di depan pokok-pokok bunga mawar itu.
Suatu hari bapak berdiri di hadapan pokok-pokok  bunga mawar yang ada di depan paviliun. Mereka pokok-pokok bunga mawar yang terakhir layu dan akhirnya mati. Lama sekali bapak menatap dan termangu di hadapannya.Â
"Yah... pohon bunga mawarnya mati Ra," ujarnya kepadaku tanpa menoleh. Aku pun menghampirinya dan melihat pokok-pokok bunga mawat itu yang telah menjadi ranting kering dengan beberapa daun yang membusuk. Bapak kemudian pergi begitu saja dengan air muka yang sangat sedih.
Berkali-kali sudah bapak membeli dan menanam pokok mawar  untuk menggantikan pokok mawar yang mati. Namun tak ada yang bertahan dan tumbuh. Selalu saja layu dan mati sebelum sempat bertumbuh betapa pun keras usaha bapak merawatnya dan kadang menitip pesan kepadaku untuk menyiraminya jika ia sedang tak ada di rumah.
Bapak tak putus asa meskipun pokok-pokok mawar yang ia beli dan tanam selalu layu dan mati, ia terus membeli dan menanam serta merawatnya. Begitu terus hingga setahun menjelang hari kematian ibu dan kemudian ia menikah lagi.
Ya, bapak akhirnya menikah lagi setelah setahun ibu meninggal. Meskipun begitu ia tetap membeli dan menanam serta merawat pokok mawar berkali-kali. Dua tahun sudah ia menikah dengan istri barunya, namun tetap saja ia tak berhasil menumbuhkan mawar pada sisi-sisi halaman rumah. Ia tak pernah berputus asa.
Pada tahun ke-tiga hari kematian ibu, segerombol kecil pokok-pokok mawar yang ditanam bapak di depan halaman dapur tumbuh dan berbunga. Tetapi pokok-pokok mawar itu tak secantik dan sehat seperti ketika ibu masih ada. Bapak senang melihatnya. Tiap pagi dan sore ia rajin menyambangi pokok mawar itu. Sampai sekarang hanya pokok mawar itu yang tumbuh dan berbunga. Ia tumbuh kerdil tak merambat dengan bunganya yang kecil-kecil dan sedikit.